Dibanding
dua judul tulisan saya sebelumnya, yaitu "Liberal Musuh Besar Islam"
dan "Liberal Lebih Iblis daripada Iblis", maka judul tulisan saya
tentang Liberal kali ini memang agak vulgar, karena memang Liberal patut
ditelanjangi secara vulgar. Jujur saja, saya memang sedang membangun
serangan habis-habisan terhadap pemikiran-pemikiran sesat Kaum Liberal.
Kaum Liberal sudah tidak bisa lagi diajak dialog, apalagi dinasihati,
karena Ulama ditantang, Agama ditentang, bahkan Kitab Suci diserang. Dan
kaum Liberal ini sudah terlalu sering membuat istilah "nyeleneh"
terhadap Gerakan Islam, seperti preman berjubah, puritan, radikal,
ekstrimis, teroris, dan sebagainya. Kini saatnya mereka kita beri
label-label yang dengannya umat Islam jadi tahu siapa dan bagaimana
mereka.
LIBERAL DAN MU'TAZILAH
Kaum
Liberal sering mengklaim bahwa mereka pengagum sekaligus pengikut
Mu'tazilah. Kaum Liberal menganggap bahwa mereka dengan Mu'tazilah
adalah kelompok yang sangat moderat, karena selalu mengedepankan nalar
dan logika yang sehat. Pendapat Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an adalah
"makhluq" kerap dijadikan rujukan oleh Kaum Liberal untuk menjustifikasi
pendapat mereka bahwa Al-Qur'an hanya sebuah teks yang merupakan
produk budaya, bahasa dan sejarah.
Padahal, konsep "memakhluqkan" Al-Qur'an milik Mu'tazilah tidak sama dengan konsep "memakhluqkan" Al-Qur'an milik Liberal, bahkan berbanding terbalik. Tatkala Mu'tazilah memakhluqkan Al-Qur'an sebagai "ciptaan", mereka menisbahkannya kepada Allah SWT, sehingga pengertiannya bahwa Al-Qur'an adalah makhluq ciptaan Allah SWT. Dasar pemikiran Mu'tazilah sangat sederhana dengan logika biasa yaitu bahwa selain Tuhan adalah makhluq, sehingga karena Al-Qur'an bukan Tuhan maka berarti ia makhluq. Dengan demikian, menurut Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an tetap datang dari Allah SWT, bukan datang dari buatan manusia.
Sedang Liberal tatkala memakhluqkan Al-Qur'an sebagai "ciptaan", mereka menisbahkannya kepada Muhammad, sehingga pengertiannya bahwa Al-Qur'an adalah makhluq ciptaan Muhammad. Dasar pemikiran Liberal tidak sederhana, tapi "ngejelimet" berbelat-belit, putar balik hujjah, bukan dengan logika tapi khayalan, kocok sana kocok sini, sehingga lebih tepat disebut sebagai "Onani Pemikiran". Puncratan onani pemikirannya pun menjijikkan yaitu bahwa "Al-Qur'an buatan manusia." Astaghfirullaah
Padahal, konsep "memakhluqkan" Al-Qur'an milik Mu'tazilah tidak sama dengan konsep "memakhluqkan" Al-Qur'an milik Liberal, bahkan berbanding terbalik. Tatkala Mu'tazilah memakhluqkan Al-Qur'an sebagai "ciptaan", mereka menisbahkannya kepada Allah SWT, sehingga pengertiannya bahwa Al-Qur'an adalah makhluq ciptaan Allah SWT. Dasar pemikiran Mu'tazilah sangat sederhana dengan logika biasa yaitu bahwa selain Tuhan adalah makhluq, sehingga karena Al-Qur'an bukan Tuhan maka berarti ia makhluq. Dengan demikian, menurut Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an tetap datang dari Allah SWT, bukan datang dari buatan manusia.
Sedang Liberal tatkala memakhluqkan Al-Qur'an sebagai "ciptaan", mereka menisbahkannya kepada Muhammad, sehingga pengertiannya bahwa Al-Qur'an adalah makhluq ciptaan Muhammad. Dasar pemikiran Liberal tidak sederhana, tapi "ngejelimet" berbelat-belit, putar balik hujjah, bukan dengan logika tapi khayalan, kocok sana kocok sini, sehingga lebih tepat disebut sebagai "Onani Pemikiran". Puncratan onani pemikirannya pun menjijikkan yaitu bahwa "Al-Qur'an buatan manusia." Astaghfirullaah
Jadi,
jelas sekali bahwa Liberal bukan Mu'tazilah, secuil pun tidak sama
dengan Mu'tazilah, bahkan terlalu "lebay" menyamakan keduanya.
Mu'tazilah sepanjang zaman tetap mengagungkan Al-Qur'an sebagai "Wahyu
Allah SWT", sedang Liberal secara terang-terangan menyerang dan
menistakan Al-Qur'an.
Bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa "Mush-haf"
Al-Qur'an yang terdiri dari kertas dan tinta memang makhluq, namun
Al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT tidak boleh disebut makhluq, karena
itu merupakan Kalam dan Firman-Nya yang suci lagi agung. Bagi Ahlus
Sunnah pendapat Mu'tazilah tentang "kemakhluqan" Al-Qur'an adalah bid'ah
pemikiran, namun tidak ada Ahlus Sunnah yang mengkafirkan Mu'tazilah
karena konsep tersebut. Sedang pendapat Liberal tentang "kemakhluqan"
Al-Qur'an adalah "onani pemikiran" yang sesat dan menyesatkan, bahkan
kafir dan keluar dari Islam.
AL-QUR'AN ADALAH TEKS ?
Menurut
Kaum Liberal bahwa Al-Qur'an adalah dokumen tertulis (manuskrip) yang
diwariskan Muhammad kepada umatnya, sehingga Al-Qur'an hanya merupakan
"Teks" yang bisa dan harus diteliti otentisitasnya melalui penerapan
metode-metode Filologi, seperti Historical Criticism, Textual Criticism, Literary Criticism, Form Criticism dan Redaction Criticism.
Metodologi Filologi bagi Kaum Liberal adalah metodologi penelitian
modern yang telah sukses diterapkan dalam studi kritis Bibel dan telah
diakui banyak kalangan peneliti dan cendikiawan dari kalangan Yahudi,
Nashrani mau pun Islam.
Masih
menurut Kaum Liberal bahwa umat Islam sepatutnya mengikuti langkah
Kaum Orientalis yang telah secara berani mengkritisi Bibel sebagai
kitab suci mereka sendiri melalui Metodologi Hermeneutika. Kaum Liberal
pun menyerukan umat Islam untuk melepaskan sikap fanatik ortodoks yang
selalu menganggap Al-Qur'an sebagai kitab suci yang sangat sakral,
sehingga tidak berani untuk melakukan studi kritis terhadap kitab suci.
Inilah salah satu bukti "onani pemikiran" yang dilakukan kaum Liberal.
Bagi
umat Islam, Al-Qur'an pada mulanya bukanlah "Teks" atau "Tulisan"
tetapi merupakan "Bacaan" yang dihafal dan diwariskan dari generasi ke
generasi secara mutawatir. Proses pewahyuan, penyampaian, pengajaran dan
periwayatan Al-Qur'an pada mulanya melalui lisan dan hafalan, bukan
tulisan. Sedang penulisan Al-Qur'an hanya sebagai penunjang, itu pun
pada mulanya "Tulisan" Al-Qur'an hanya bersandar kepada "Hafalan
Bacaan", bukan sebaliknya.
Otentisitas
Al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT tidak diragukan sedikit pun. Walau
pun penghimpunan penulisan Al-Qur'an secara utuh baru dilakukan di zaman
Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, lalu disempurnakan zaman
Sayyidina Utsman ibnu 'Affan RA, kemudian makin disempurnakan di
zaman-zaman berikutnya hinga di era penerbitan dan percetakan laser
sekarang ini, tapi tenggang waktu antara awal penurunan wahyu kepada
Rasulullah SAW hingga penghimpunan penulisan wahyu tersebut tidak ada
sedikit pun jeda kekosongan penyampaian, pengajaran dan periwayatannya
dari generasi ke generasi secara mutawatir, sehingga otentisitas
Al-Qur'an sebagai wahyu tetap terjaga dan terpelihara. Alhamdulillaah.
Berbeda
dengan Bibel misalnya, yang penghimpunan penulisannya dilaksanakan
setelah ratusan tahun dari zaman Nabi 'Isa AS, dan sejak awal pewahyuan
Injil kepada Nabi 'Isa AS hingga zaman penghimpunan penulisan telah
terjadi jeda kekosongan penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dari
generasi ke generasi. Sehingga penghimpunan penulisan Bibel hanya
bersandar kepada "manuskrip" yang tertulis dalam bentuk papirus, skroll,
dan sebagainya. Itulah sebabnya, penelitian manuskrip Bibel menjadi
keniscayaan untuk membuktikan keasliannya. Itu pula sebabnya, kenapa
para Orientalis tidak ada pilihan lain kecuali harus mengkritisi Bibel
melalui Metodologi Hermeneutika untuk meneliti keasliannya.
Jadi,
sumber penulisan Bibel adalah "Teks" sehingga bisa diterapkan
metode-metode filologi untuk membuktikan keautentikannya, sedang sumber
penulisan Al-Qur'an adalah "Bacaan" yang tidak mungkin diterapkan
metode-metode filologi terhadapnya, bahkan mustahil karena keautentikan
Al-Qur'an tak terbantahkan. Kesimpulannya, Hermeneutika dengan segala
metode filologinya sudah tepat diterapkan dalam penelitian otentisitas
Bibel yang akhirnya sukses membongkar kepalsuannya. Sedang jika
Hermeneutika diterapkan terhadap Al-Qur'an maka salah alamat,
sebagaimana pernah dinyatakan oleh Prof. Josef van Ess, seorang Teolog
di Universitas Tuebingen - Jerman : "Bahwa Hermeneutika yang
berasal dari Jerman tidak ditujukan untuk kajian keislaman. Pada
mulanya, ia meruapakan produk Teolog Protestan yang dipakai untuk kajian
Bibel oleh Friedrich Schleiermacher, dan belakangan oleh Martin
Heidedger dan Hans-Georg Gadamer dalam kajian kesusasteraan Jerman mau
pun Klasik."
AL-QUR'AN PRODUK BUDAYA ?
Kaum
Liberal menyatakan bahwasanya sejak awal Al-Qur'an diturunkan kepada
Muhammad hingga wafatnya, selama lebih kurang 23 tahun, Al-Qur'an telah
berinteraksi dengan merespon dan mengakomodir realitas dan budaya
masyarakat Arab, sehingga Al-Qur' an tidak bisa melepaskan diri dari
kungkungan realitas dan budaya yang ada di masa itu. Karenanya,
Al-Qur'an adalah "Teks" yang dilahirkan oleh realita dan diproduksi oleh
budaya. Inilah bentuk lain "onani pemikiran" hasil khayalan kaum
Liberal.
Andaikata
Al-Qur'an produk budaya karena terbentuk dalam realitas dan budaya,
maka semestinya Al-Qur'an menghalalkan apa yang dihalalkan masyarakat
Arab Jahiliyyah tempat dimana Al-Qur'an diturunkan, seperti :
kemusyrikan, perjudian, khamar, riba dan wa'dul Banaat (mengubur
hidup-hidup anak perempuan). Namun kenyataannya, Al-Qur'an menentang dan
mengharamkan itu semua. Justru masyarakat Arab Jahiliyyah memandang
Al-Qur'an saat diturunkan sebagai sesuatu yang aneh dan asing, karena
bertentangan dengan realita dan budaya mereka. Bahkan mereka menuduh
Rasulullah SAW sebagai orang gila yang ingin melawan realita dan budaya
yang sudah berurat berakar di tengah masyarakat Arab selama
berabad-abad.
Jadi,
Al-Qur'an bukan produk budaya Jahiliyyah atau produk budaya apa pun,
karena Al-Qur'an bukan kesinambungan dari budaya mana pun ketika itu.
Justru Al-Qur'an memproduk budaya baru yang mengharamkan segala bentuk
kemusyrikan, kesesatan, kezaliman, kema'siatan dan kemunkaran. Al-Qur'an
melahirkan budaya baru yang berakhlaqul karimah, terhormat dan
bermartabat. Kesimpulannya, bukan Budaya yang jadi sumber Al-Qur'an,
tapi sebaliknya justru Al-Qur'an yang jadi sumber budaya agung dan
luhur. Inilah faktanya, bukan khayalan yang mendorong "onani pemikiran"
sebagaimana yang dilakukan kaum Liberal.
AL-QUR'AN PRODUK BAHASA ?
Kaum
Liberal berkhayal bahwa Tuhan punya bahasa tersendiri yang tidak
dipahami manusia, sedang bahasa Arab adalah bahasa manusia bukan bahasa
Tuhan. Lucunya, kaum Liberal sendiri tidak pernah tahu bahasa apa dan
bagaimana yang mereka maksud dengan bahasa Tuhan. Lalu dari onani
khayalan tersebut, kaum Liberal menyatakan bahwa Allah menurunkan
Al-Qur'an dengan bahasa Tuhan yang tidak dipahami manusia, lalu Muhammad
menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab agar dipahami oleh manusia.
Karenanya,
kaum Liberal meyakini adanya intervensi bahasa manusia dalam
pembentukan Al-Qur'an, apalagi penulisan Al-Qur'an dalam bentuk "Rasm Utsmani" memungkinkan dibaca dengan beberapa bacaan (qiraat),
sehingga Al-Qur'an menjadi "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan
karakteristik bahasa tersebut, baik lisan mau pun tulisan.
Dalam
aqidah umat Islam bahwasanya Allah SWT Maha Berkehendak, dan dengan
bahasa mau pun tanpa bahasa, kehendak Allah SWT pasti berlaku. Allah SWT
tidak membutuhkan bahasa, karena bahasa adalah makhluq ciptaan-Nya dan
Allah SWT tidak bergantung kepada makhluq ciptaan-Nya. Allah SWT telah
berkehendak menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa Arab untuk menyampaikan
aturan-Nya kepada umat manusia agar dipatuhi dan ditaati. Dan Al-Qur'an
sejak awal diturunkan kepada Rasulullah SAW sudah berbahasa Arab
sesuai dengan kehendak Allah SWT yang berada di atas segala kehendak,
sehingga tidak ada intervensi bahasa manusia mana pun terhadap
Al-Qur'an sebagaimana dikhayalkan kaum Liberal.
Jadi,
Allah SWT lah yang telah menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa Arab, bukan
Rasulullah SAW yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, sebagaimana
termaktub dalam QS.12.Yusuf : 2, QS.20.Thoha : 113, QS.39.Az-Zumar :
28, QS.41.Fushshilat : 3, QS.42.Asy-Syura : 7 dan QS.43.Az-Zukhruf : 3.
Semua bahasa adalah ciptaan Allah SWT, dan Dia SWT berhak untuk
menentukan bahasa mana yang dipilihnya sebagai bahasa pengantar
firman-Nya agar dimengerti manusia. Allah SWT pernah memilih bahasa
Ibrani untuk firman-Nya dalam Taurat, dan memilih bahasa Suryani untuk
firman-Nya dalam Injil, serta memilih bahasa Arab untuk firman-Nya dalam
Al-Qur'an.
Aneka qiraat dalam pembacaan Al-Qur'an bukan disebabkan "Rasm Utsmani"
yang tanpa titik dan harakat sehingga memungkinkan dibaca dengan
beberapa bacaan, melainkan datang dari aneka bacaan yang disampaikan
Nabi SAW kepada umatnya dari Allah SWT. Justru "Rasm Utsmani"
itu dibuat mengikuti Bacaan Hafalan Al-Qur'an yang diajarkan Nabi SAW,
tidak sebaliknya. Karenanya, walau pun suatu bacaan sudah sesuai "Rasm
Utsmani" tapi jika tidak ada riwayat qiraatnya dari Nabi SAW secara
mutawatir, maka tertolak dan tidak termasuk Al-Qur'an. Misalnya, Surat
Al-Fatihah ayat keempat dibaca dengan dua qiraat yaitu "Maliki Yaumid Diin" dengan dipendekkan "miim"-nya dan "Maaliki Yaumid Diin"
dengan dipanjangkan "miim"-nya. Kedua qiraat termasuk Al-Qur'an karena
datang melalui periwayatan mutawatir dari Rasulullah SAW, bukan karena
sesuai dengan "Rasm Utsmani". Jika ayat tersebut dibaca "Malaka Yaumad Diin" dengan fi'il dan maf'uul yang sekali pun sesuai "Rasm Utsmani" maka tetap tertolak, karena tidak ada riwayat mutawatir dari Nabi SAW tentang qiraat seperti itu.
Selain
itu, Al-Qur'an bukan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan
karakteristik bahasa Arab yang berlaku di kalangan masyarakat Jahiliyyah
saat diturunkan, buktinya : Pertama, Al-Qur'an telah merubah kaidah
dan karakteristik sejumlah kata dalam bahasa Arab, seperti kata
"Karomah" yaitu "Kemuliaan" yang dalam masyarakat Jahiliyyah maknanya
selalu dikaitkan dengan banyak isteri, anak dan harta serta kedudukan
tinggi, namun Al-Qur'an merubahnya secara mendasar dan hanya mengaitkan
maknanya dengan taqwa kepada Allah SWT sesuai firman-Nya dalam
QS.49.Al-Hujuraat ayat 13 : "Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu sekalian." Jika Al-Qur'an merupakan "Teks Bahasa" yang tunduk
kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman diturunkan, maka
mestinya Al-Qur'an tidak membuat makna baru yang saat itu tidak diakui
oleh masyarakat Jahiliyyah.
Kedua, dalam Al-Qur'an terdapat "Huruf Muqoththo'ah" seperti Alif Laam Miim
di awal Surat Al-Baqarah, yang semakin memastikan bahwasanya Al-Qur'an
bukan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa
Arab, karena tak satu pun bangsa Arab sejak dulu hingga kini yang tahu
dengan pasti makna huruf tersebut. Jika Al-Qur'an merupakan "Teks
Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman
diturunkan, maka mestinya Al-Qur'an tidak memuat "Huruf Muqoththo'ah" yang tidak dikenal oleh masyarakat Jahiliyyah.
Ketiga, dalam Al-Qur'an terdapat sejumlah kosa kata "asing" bagi masyarakat Arab ketika diturunkan, karena jarang digunakan atau sudah punah lalu menjadi bahasa bangsa lain atau memang murni kosa kata asing, seperti Abaariiq (Persia), Asfaar (Suryani) dan Araa-ik (Habasyi), sehingga Al-Qur'an menggunakannya kembali untuk menegaskan bahwa kosa kata tersebut sudah "diarabkan" atau memang asal-usulnya dari bahasa Arab. Jika Al-Qur'an merupakan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman diturunkan, maka mestinya Al-Qur'an tidak memuat kosa kata "asing" yang tidak dipahami oleh masyarakat Jahiliyyah.
Ketiga, dalam Al-Qur'an terdapat sejumlah kosa kata "asing" bagi masyarakat Arab ketika diturunkan, karena jarang digunakan atau sudah punah lalu menjadi bahasa bangsa lain atau memang murni kosa kata asing, seperti Abaariiq (Persia), Asfaar (Suryani) dan Araa-ik (Habasyi), sehingga Al-Qur'an menggunakannya kembali untuk menegaskan bahwa kosa kata tersebut sudah "diarabkan" atau memang asal-usulnya dari bahasa Arab. Jika Al-Qur'an merupakan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman diturunkan, maka mestinya Al-Qur'an tidak memuat kosa kata "asing" yang tidak dipahami oleh masyarakat Jahiliyyah.
Nah,
nyatanya dari dulu hingga kini Al-Qur'an tidak pernah tunduk kepada
kaidah dan karakteristik bahasa Arab yang berlaku di masyarakat
Jahiliyyah, sehingga Al-Qur'an bukan produk bahasa sebagaimana
dikhayalkan kaum Liberal. Bahkan Al-Qur'an disepakati oleh Ulama Salaf
mau pun Khalaf sebagai sumber rujukan bagi bahasa Arab yang paling fasih
dan paling benar kaidahnya serta paling sempurna karakteristiknya.
AL-QUR'AN PRODUK SEJARAH ?
Kaum
Liberal menilai bahwasanya Al-Qur'an yang diturunkan pada abad ke-7
Miladi, terikat kuat dengan realitas, budaya dan bahasa yang merupakan
bagian daripada "Fenomena Historis" masa itu, sehingga Al-Qur'an hanya
merupakan produk sejarah yang merekam situasi adat budaya masyarakat
Arab di abad tersebut. Karenanya, ke depan Al-Qur'an perlu mengadaptasi
dengan perkembangan sejarah selanjutnya. Ini pun bentuk lain dari
"onani pemikiran" gaya Liberal.
Fakta membuktikan bahwasanya Al-Qur'an tidak terikat dan tidak dipengaruhi "Fenomena Historis" daripada realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab abad ke-7 Miladi. Buktinya, Al-Qur'an bukan hanya merekam sejarah di masa turunnya, tapi juga sejarah masa lalu di luar wilayah turunnya, bahkan masa akan datang yang jauh dari jangkauan realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab Jahiliyyah. Ratusan ayat Al-Qur'an mengisyaratkan secara menakjubkan berbagai informasi pengetahuan ilmiah yang faktanya baru terungkap di abad modern, seperti yang terkait Astronomi, Geologi, Biologi dan Embriologi. Jadi, Al-Qur'an bukan produk sejarah, bahkan bersifat Transhistoris yaitu melampaui historisitasnya sendiri.
Fakta membuktikan bahwasanya Al-Qur'an tidak terikat dan tidak dipengaruhi "Fenomena Historis" daripada realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab abad ke-7 Miladi. Buktinya, Al-Qur'an bukan hanya merekam sejarah di masa turunnya, tapi juga sejarah masa lalu di luar wilayah turunnya, bahkan masa akan datang yang jauh dari jangkauan realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab Jahiliyyah. Ratusan ayat Al-Qur'an mengisyaratkan secara menakjubkan berbagai informasi pengetahuan ilmiah yang faktanya baru terungkap di abad modern, seperti yang terkait Astronomi, Geologi, Biologi dan Embriologi. Jadi, Al-Qur'an bukan produk sejarah, bahkan bersifat Transhistoris yaitu melampaui historisitasnya sendiri.
Jadi,
Al-Qur'an sebagai Mu'jizat terbesar akan selalu cocok dan sesuai untuk
semua tempat dan zaman hingga Hari Akhir. Alhamdulillaah.
OTENTISITAS AL-QUR'AN
Onani
pemikiran kaum Liberal yang menyatakan bahwasanya Al-Qur'an adalah
teks yang merupakan produk budaya, bahasa dan sejarah, hanya merupakan
bagian dari upaya jahat kaum Orientalis mau pun Oksidentalis untuk
menanamkan keraguan terhadap kebenaran, kesucian dan keagungan
Al-Qur'an. Namun otentisitas yaitu keautentikan dan keaslian Al-Qur'an
sebagai wahyu Allah SWT terlalu kokoh untuk digoyahkan dan terlalu
sempurna untuk direndahkan, sehingga kaum Liberal tampak mulai kelelahan
menyerang Al-Qur'an, bahkan banyak yang mulai gila karena tak dapat
cara.
Allah
SWT telah berjanji untuk senantiasa menjaga Al-Qur'an sesuai
firman-Nya dalam QS.15.Al-Hijr : 9. Salah satu cara Allah SWT menjaga
Al-Qur'an adalah dengan mengaruniakan para hamba-Nya kemampuan
menghafal Al-Qur'an. Di zaman sekarang ada jutaan umat Islam di dunia
yang hafal Al-Qur'an, di Indonesia saja tidak kurang dari seratus ribu
santri berbagai pondok pesantren Tahfizhul Qur'an yang hafal Al-Qur'an.
Karenanya, jangankan memalsukan Al-Qur'an, bahkan salah cetak saja
suatu Mush-haf Al-Qur'an dengan mudah dan cepat bisa terungkap.
Subhaanallaah.
Kepada
generasi muda Islam yang ingin lebih luas dan matang mengetahui
kebobrokan dan kejahatan pemikiran Liberal, penulis menyarankan untuk
mau membaca lebih banyak buku-buku karya para cendikiawan muda kita yang
secara cerdas, tegas dan lugas mengkritisi pemikiran-pemikiran sesat
kaum Liberal, seperti buku-buku : Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur'an
(DR. Adnin Armas), Tren Pluralisme Agama (DR. Anis Malik Thoha),
Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (DR. Syamsuddin Arif), Virus
Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam (DR. Adian Husaini) dan Kritik
Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Fahmi Salim MA), yang semuanya
diterbitkan oleh Gema Insani Pers - Jakarta. Dan sangat bagus serta
manfaat jika generasi muda Islam secara aktif mengikuti workshop mau pun
dialog-dialog yang digelar kawan-kawan dari INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization)
yang dinakhodai oleh DR. Hamid Fahmi Zarkasyi. Mereka adalah para
cendikiawan muda muslim Indonesia yang harus kita dukung dan sokong
perjuangannya dalam membentengi umat Islam dari segala pengaruh
pemikiran Liberal yang sesat dan menyesatkan.
Selamat berjuang ..... Ayo, Ganyang Liberal ! Allahu Akbar !
[adie/fpi]
Oleh : Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA - Ketua Umum DPP FPI