Minggu, 23 September 2012 | 09:29 WIB
Oleh: Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA
Sejak
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Hak Asasi Manusia
(HAM) seiring dengan pendiriannya pada tahun 1945, maka HAM muncul
sebagai issue internasional yang selalu menjadi perhatian masyarakat
dunia. Namun sayangnya, HAM yang semula lahir dimaksudkan untuk
membebaskan umat manusia dari penjajahan dan perbudakan, belakangan
justru menjadi senjata ampuh untuk menghidupkan kembali Imperialisme
Modern.
Dengan
dalih HAM, para Kapitalis mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di
berbagai sektor ekonomi, tanpa peduli kerugian pihak lain. Dengan dalih
HAM pula, negara-negara Kapitalis bersekutu memporak-porandakan berbagai
negara yang tidak mereka sukai, secara politik mau pun ekonomi. Bahkan
kini, dengan dalih HAM juga, berbagai perilaku anti agama
ditumbuh-suburkan tanpa peduli batasan ajaran agama.
Di
Indonesia, HAM menjadi senjata penting bagi kaum Liberal dalam
mengusung seluruh programnya. Dengan dalih HAM, kaum Liberal selalu
memperjuangankan "penghalalan yang haram" dan "pembelaan yang bathil",
seperti legalisasi miras dan ganja, bahkan narkoba, begitu juga
positivisasi perjudian dan pelacuran, bahkan formalisasi perkawinan
sejenis. Dengan dalih HAM pula, kaum Liberal selalu memperjuangankan
"pengharaman yang halal" dan "penolakan yang haq", seperti penolakan
terhadap Undang-Undang Penodaan Agama dan Undang-Undang Pornografi,
bahkan penolakan terhadap semua Undang-Undang dan Perda-Perda yang
bernuansakan Syariat Islam.
Karena
itulah, pembahasan tentang HAM dalam Wawasan Kebangsaan menjadi sangat
penting, agar HAM tidak dijadikan senjata untuk merontokkan pilar-pilar
bangsa dan negara Indonesia.
HAM MENURUT BARAT
Barat
mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia
sejak lahir secara alami tanpa ada kaitan sama sekali dengan ajaran
agama apa pun. HAM dalam pandangan Barat murni merupakan hasil pemikiran
dan penetapan akal semata, terlepas sama sekali dari dogma agama.
Definisi
tersebut melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama, sehingga
norma-norma agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting dalam
terminologi HAM. Dengan makna HAM seperti ini, maka HAM sering
dihadap-hadapkan dengan agama, sehingga HAM sering dipahami sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan karena HAM sering
digunakan untuk mengkerdilkan agama, akhirnya HAM dianggap sebagai musuh
agama.
Berdasarkan
definisi tersebut pula, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya dengan melakukan aneka hubungan sex yang
diinginkannya, sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum
apa saja yang disukainya. Karenanya, menurut Barat bahwa perzinahan dan
LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) serta aneka penyimpangan
sex lainnya, adalah merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan
minuman haram, semuanya adalah HAM.
Selain
itu, HAM dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah
tergantung penilaian akal yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan
kondisi serta kepentingan, karena lepas dari doktrin agama sama sekali.
Bisa jadi, sesuatu yang dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian
hari tidak lagi dianggap sebagai HAM. Begitu pula sebaliknya, sesuatu
yang tidak dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari bisa
dianggap sebagai HAM.
Misalnya,
saat ini mengkonsumsi khamar (miras) di Amerika Serikat dianggap
sebagai HAM, bahkan menjadi gaya hidup modern. Padahal pada tahun 1919,
pemerintah AS menganggap Miras bukan bagian HAM, bahkan AS menyatakan
perang terhadap Miras dan melarangnya sama sekali. Saat itu pemerintah
AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras yang sosialisasinya menelan
biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya mencapai Rp.75 Milyar, sesuai
dengan nilai mata uang di zaman itu. Dan menghabiskan 250 juta lembar
kertas berbentuk selebaran.
Selama 14 tahun pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati sebanyak 300
orang peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335 orang. Tapi
ternyata, masyarakat AS justru makin hobby meminum miras, yang pada
akhirnya memaksa pemerintah mencabut UU Anti Miras pada tahun 1933 M,
dan membebaskan miras sama sekali.
Nah,
bisa jadi saat ini mengkonsumsi Narkoba dianggap musuh besar HAM di
berbagai belahan dunia, namun di kemudian hari justru Narkoba dianggap
sebagai HAM, bahkan gaya hidup masa depan, sebagaimana Kasus Miras.
Gejala itu sudah mulai ada, misalnya sejak beberapa tahun lalu di
Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja Nusantara kepada Badan Narkotik
Nasional dan pemerintah serta DPR RI agar melegalisasi ganja.
Itulah
sebabnya, HAM dalam pandangan Barat tidak memiliki kaidah dan batasan
yang jelas, sehingga manakala definisi HAM mereka berbenturan dengan
kepentingan mereka sendiri atau kemauan hawa nafsu mereka, maka mereka
berlindung dibalik pengecualian-pengecualian atau ketentuan-ketentuan
hukum khusus atau perubahan ketetapan Konvensi HAM.
HAM MENURUT ISLAM
Dalam
Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia
sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan
pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah
digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Inti
dari KAM adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah SWT
sebagaimana firman-Nya dalam QS.51.Adz-Dzaariyaat : 56 yang terjemahnya :
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku." Dengan KAM segenap umat Islam wajib tunduk, patuh
dan taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, serta wajib
pula meninggalkan segala larangan Allah SWT dan Rasul-Nya, semata-mata
hanya untuk mencari ridho-Nya.
Dengan
demikian, HAM tidak berdiri sendiri, tapi selalu diikat dengan KAM.
Jadi, definisi HAM terikat erat dengan doktrin ajaran agama Islam,
sehingga norma-norma agama Islam menjadi tolok ukur paling utama dalam
terminologi HAM.
Berdasarkan
definisi ini, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya, namun harus dengan cara yang dibenarkan Syariat Islam,
sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum apa saja yang
disukainya, namun tetap dalam batasan makanan dan minuman yang
dihalalkan Syariat Islam.
Karenanya,
dalam Islam ditegaskan bahwa perzinahan dan LGBT serta aneka
penyimpangan sex lainnya, merupakan pelanggaran KAM, sehingga bukan
merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan minuman haram,
semuanya pelanggaran KAM, dan bukan merupakan HAM.
Selain
itu, HAM dalam pandangan Islam statis, tidak berubah-ubah. Artinya,
apa-apa yang diharamkan atau dihalalkan Syariat Islam akan tetap berlaku
hingga Hari Akhir. Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai HAM mau pun
KAM oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka dari dulu hingga kini,
bahkan sampai masa yang akan datang, akan tetap menjadi HAM dan KAM.
Dengan
demikian, keharaman khamar (miras) yang mencakup segala jenis minuman
atau makanan yang memabukkan. Dari bahan apa pun dibuatnya, apakah dari
kurma, anggur atau buah lainnya, termasuk dari bahan kimia sekali pun.
Dan apa pun bentuknya, apakah cair, gas, asap, jeli, bubuk, pil, serta
bentuk lainnya. Dan bagaimana pun cara mengkonsumsinya, apakah diminum,
dimakan, dikunyah, dioleskan, disedot, atau pun disuntikkan. Dan apa pun
namanya, apakah Alkohol, Arak, Bir, Rum, Vodka, Cognac, dan sebagainya.
Dan berapa pun kadar penggunaannya, banyak atau pun sedikit. Serta
kapan dan dimana pun minumnya, apakah di musim panas mau pun dingin,
atau apakah di negeri Arab mau pun di negeri China atau di negeri
lainnya. Maka sejak dulu hingga sekarang, bahkan sampai yang akan
datang, khamar adalah haram, dan bukan merupakan HAM, serta sampai kapan
pun tidak akan pernah menjadi HAM.
Jadi
jelas, bahwa HAM dalam pandangan Islam memiliki kaidah dan batasan yang
jelas, sehingga tidak akan pernah berbenturan dengan KAM.
ISLAM vs DEKLARASI HAM PBB
Pada
tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 217 A
(III) tentang Deklarasi Universal HAM. Secara umum resolusi tersebut
cukup baik, karena didorong oleh semangat penegakan keadilan bagi
seluruh umat manusia. Namun karena dasar pemikiran resolusinya bersumber
dari HAM Barat, maka sejumlah item yang diatur di dalamnya bertentangan
dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
Pasal
16 resolusi tersebut adalah "Pasal Kawin Bebas", karena menjamin
kebebasan bagi pria mau pun wanita yang sudah dewasa dengan hak yang
sama untuk menikah tanpa batasan agama dan tanpa peran Wali Nikah.
Padahal dalam pandangan umum Islam diharamkan "Kawin Beda Agama" dan
"Kawin Tanpa Wali".
Dan
Pasal 18 resolusi tersebut adalah "Pasal Murtad", karena menjamin
kebebasan bagi setiap orang untuk berganti agama apa pun, termasuk yang
murtad dari Islam. Padahal dalam Islam setiap muslim diharamkan untuk
keluar dari Islam, bahkan diancam Hukuman Mati.
Pasal
21 resolusi tersebut adalah "Pasal Demokrasi" karena mewajibkan setiap
negara untuk menerapkan "Demokrasi" dengan memberikan kedaulatan
sepenuhnya kepada keinginan rakyat dan mewajibkan Pemilu di setiap
negara. Padahal Islam bukan Demokrasi, dan Demokrasi bukan Islam.
Pada
tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 2200 A
(XXI). Dalam Resolusi ini ada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik yang menekankan kembali tentang "Pasal Kawin Bebas" dan
"Pasal Murtad" serta "Pasal Demokrasi", yaitu pada Pasal 1, 2, 23 dan
25. Sedang Pasal 6 kovenan ini masih mengakui dan membolehkan
pemberlakuan Hukuman Mati, namun kemudian dibatalkan melalui Protokol
Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik untuk
penghapusan Hukuman Mati yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB
No. 44 / 128 tertanggal 15 Desember 1989. Padahal dalam Islam ada
pemberlakuan Hukuman Mati dalam masalah Qishash mau pun Hudud, seperti
hukuman mati bagi pembunuh dan zani muhson serta murtad.
HAM ANAK dan WANITA
Majelis
Umum PBB mengeluarkan sejumlah resolusi tentang Anak dan Wanita atas
dasar semangat untuk memberi perlindungan terhadap anak dan wanita.
Tentu ini merupakan suatu upaya terpuji yang harus didukung semua pihak.
Namun sayang, lagi-lagi dasar pemikiran resolusinya bersumber dari HAM
Barat, sehingga sering bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama
Islam.
Salah
satu resolusi PBB terkait Anak adalah Konvensi Hak Anak yang ditetapkan
Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 44 / 25 tertanggal 20 November
1989. Pasal 20 resolusi ini secara eksplisit mengakui eksitensi Kafalah
dalam Hukum Islam. Dan Pasal 24 resolusi ini secara rinci menjamin
perlindungan terhadap anak dari segala bentuk eksploitasi sex dan
pornografi. Ini merupakan hal yang sangat bagus dari resolusi ini. Hanya
saja, resolusi ini tidak memberi batasan jelas tentang definisi anak.
Pasal
1 resolusi ini menetapkan bahwa permulaan usia dewasa seseorang, baik
pria mau pun wanita, adalah 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang
berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal. Dasar penetapan usia dewasa dalam pasal ini tidak jelas, dan semakin bias dengan pengecualian yang juga tidak memiliki indikator kedewasaan yang pasti.
Dalam
Islam dasar dan indikator kedewasaan sesorang sangat jelas dan pasti.
Islam menetapkan bahwa kedewasaan bagi pria ditandai dengan salah satu
dari dua perkara, yaitu "mimpi" yang menyebabkan junub pertama atau usia
yang sudah genap 15 tahun qomariyyah. Sedang kedewasaan bagi wanita
ditandai juga dengan salah satu dari dua perkara, yaitu "Haidh" yang
pertama atau juga usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah. Penetapan
ini sangat sederhana tapi jelas dan terang, sehingga mudah
diidentifikasi oleh siapa pun.
Dalam
Resolusi Majelis Umum PBB No. 34 / 180 tanggal 18 Desember 1979 tentang
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
disebutkan antara lain : Pelarangan kawin dan hamil di bawah usia 18
tahun dan Pelarangan Khitan bagi anak perempuan. Padahal dalam Islam,
soal usia perkawinan kembali kepada ketetapan Islam tentang usia dewasa
sebagaimana tersebut di atas, sehingga siapa telah dewasa maka ia berhak
untuk kawin dan hamil sesuai aturan Syariat Islam.
Ada
pun soal Pelarangan Khitan Perempuan, PBB mengambil sampel "Khitan
Fir'aun" yang marak di Benua Afrika, yaitu "Pemotongan Alat Kelamin
Wanita", lalu menggeneralisir bahwa semua bentuk khitan dilarang.
Padahal "Khitan Islam" berbeda dengan "Khitan Fir'aun". Dalam Khitan
Islam cukup hanya menghilangkan selaput (jaldah / colum / praeputium)
yang menutupi klitoris, bukan melukai atau memotong klitorisnya, apalagi
memotong alat kelaminnya. Bahkan dalam Islam sudah dianggap cukup hanya
dengan melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris
(frenulum klitoris).
Selain
itu, dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) tertanggal 16
Desember 1966, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ternyata juga
ada soal perempuan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya. Pasal 3 kovenan tersebut adalah "Pasal Kesetaraan
Gender", karena menjamin persamaan hak dan kewajiban antara pria dan
wanita dalam semua aspek kehidupan, termasuk waris. Selain itu, masih
ada Deklarasi dan Program Aksi di Wina pada tanggal 25 Juni 1993 tentang
Hak Anak dan Wanita yang secara rinci menetapkan soal "Kesetaraan
Gender". Padahal Islam tidak mengenal "Kesetaraan Gender", tapi Islam
memperkenalkan "Keserasian Gender". Ada pun Hukum Waris dalam Islam
sudah final.
AWASI DAN KOREKSI HAM PBB
Dengan
fakta dan data tersebut di atas tentang kontroversialnya berbagai
Resolusi HAM PBB, maka umat Islam di seluruh dunia berkewajiban untuk
selalu melakukan pengawasan dan pengkajian terhadap setiap Resolusi HAM
PBB. Apalagi disana masih banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai
Resolusi HAM PBB yang mesti disorot, dikaji dan dikoreksi agar tidak
dijadikan senjata untuk membombardir Syariat Islam.
Tanggung
jawab negara-negara Islam, khususnya yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dan menjadi anggota PBB, tentu lebih besar lagi.
Mereka mesti secara pro aktif mengikuti semua agenda sidang PBB, dan
harus menyoroti secara cermat semua draf rencana keputusan PBB yang
berpotensi menabrak ajaran agama Islam, serta wajib menolak segala
keputusan PBB yang dipaksakan dan bertentangan dengan Syariat Islam.
Jangan sebaliknya, negara-negara Islam di PBB hanya menjadi "skrup"
untuk menguatkan visi misi PBB yang "sangat Barat". Apalagi sampai ikut
mengkampanyekan resolusi PBB yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Misalnya,
pada tahun 2006 di Indonesia terbit Surat Edaran (SE) Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat Depkes RI No : HK. 00.07.1.31047 a tertanggal 20
April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas
Kesehatan, dengan alasan menyakitkan dan membahayakan serta merusak
organ reproduksi perempuan, sekaligus memenuhi tuntutan WHO sebagai
Badan Kesehatan Dunia di PBB. SE tersebut disebar-luaskan ke semua RS
dan Puskesmas, sehingga hampir semua RS menolak permintaan Khitan Anak
Perempuan. Akibatnya, selama SE tersebut berlaku banyak anak perempuan
umat Islam di Indonesia yang tidak dikhitan.
Lalu
umat Islam Indonesia protes keras, karena Khitan dalam Islam bagi pria
mau pun wanita adalah bagian dari Fithrah, sehingga merupakan Syiar
Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pun pada tahun 2008
mengeluarkan Fatwa No. 9A tentang Khitan tertanggal 7 Mei 2008,
sekaligus merekomendasikan kepada pemerintah agar menjadikan Fatwa
tersebut sebagai acuan dalam masalah Khitan Perempuan.
Akhirnya,
pada tahun 2010 terbit Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1636 / MENKES
/ PER / XI / 2010 tentang Sunat Perempuan yang mencabut SE Larangan
Sunat Perempuan, sekaligus menerima rekomendasi MUI dengan menyetujui
pelaksanaan Sunat Perempuan. Namun sayangnya Peraturan Menkes RI
tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik secara meluas, sehingga
sampai saat ini masih ada sejumlah RS yang menolak Khitan Anak
Perempuan.
Selain
negara-negara Islam yang harus pro aktif mengawasi berbagai resolusi
PBB, maka umat Islam pun harus pro aktif juga mengawasinya. Apalagi
secara perorangan atau organisasi pun diperkenankan untuk menyampaikan
laporan ke PBB, baik usul dan saran mau pun kritik dan protes. Untuk itu
ada sejumlah alamat yang bisa digunakan sesuai dengan bidang
laporannya. Khusus masalah HAM bisa dialamatkan ke : Centre for Human
Rights - United Nations Office of Geneva, 1211 Geneva 10, Switzerland.
HAM INDONESIA
Fakta
sejarah membuktikan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menolak
segala bentuk penjajahan di atas muka Bumi, lebih dulu ada dari pada
Piagam PBB yang lahir tanggal 24 Oktober 1945. Artinya, Indonesia lebih
dulu memiliki Deklarasi Universal HAM ketimbang PBB.
Namun
demikian, aturan HAM secara rinci di Indonesia baru lahir pasca
Reformasi 1998 melalui Amandemen UUD 1945 yang melahirkan Pasal 28 dan
Pasal 28 huruf a s/d j tentang HAM. Lalu dilanjutkan dengan lahirnya UU
No. 33 Th. 1999 tentang HAM yang sekaligus menjadi dasar pendirian
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang disingkat Komnas HAM.
Penegakan
HAM di Indonesia patut diapresiasi dan wajib kita dukung. Namun sayang
sejuta sayang, pendefinisian HAM dalam UUD dan UU HAM yang ada masih
merujuk kepada definisi HAM Barat, sehingga pada prakteknya menjadi
bertolak belakang dengan pilar-pilar bangsa dan negara Indonesia.
Buktinya, Komnas HAM di Indonesia banyak melakukan tindakan yang
bertentangan dengan Asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi inti
Pancasila dan UUD 1945 sebagai dua pilar utama negara.
Pertama,
Pembelaan Komnas HAM terhadap aliran sesat Ahmadiyah dan aliran-aliran
sesat lainnya, yang secara terang-terangan telah menodai ajaran Islam.
Padahal sesuai dengan UU Penodaan Agama yang tertuang dalam Penpres No.1
/ 1965, UU No.5 Th.1969 dan KUHP Pasal 156a tentang larangan Penodaan
Agama, mestinya semua aliran sesat yang telah menodai dan menistakan
agama ditolak keras oleh Komnas HAM, bukan dijustifikasi dan
dilegitimasi dengan pembelaan hingga tingkat internasional. Apalagi
sesuai Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam
Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) Pasal 18 ayat 3 yang
memberikan hak kepada negara untuk melakukan pembatasan hukum yang
diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau
moral umum, atau hak asasi dan kebebasan orang lain. Ditambah lagi
dengan putusan Sidang PBB di Jenewa - Swiss pada tanggal 26 Maret 2009 bahwa penodaan agama adalah pelanggaran HAM.
Kedua,
Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap LGBT. Itu terlihat
dalam pembelaan Komnas HAM terhadap Irsyad Manji dan Lady Gaga yang
merupakan icon LGBT Internasional. Bahkan Komnas HAM pernah terlibat
langsung dalam rangkaian acara "Kontes Waria" di Hotel Bumi Wiyata Jl.
Margonda Raya, Depok - Jawa Barat, pada tanggal 30 April 2010. Dan kini
sudah kesekian kali Komnas HAM mengajukan atau merestui para Aktivis
LGBT ikut Fit and Proper Tes di DPR RI untuk jadi anggota Komnas HAM.
Padahal, LGBT itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan
bertentangan juga dengan empat pilar utama negara dan bangsa Indonesia,
yaitu : Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Ketiga,
Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap gerakan Anti Perda
Syariah dan aksi penolakan UU Pornografi, dengan dalih menolak
diskriminasi dan perlindungan terhadap minoritas serta pelestarian
budaya dan adat istiadat. Padahal, pemberlakuan Syariat Islam hanya
kepada mayoritas muslim dan tidak dipaksakan kepada minoritas non
muslim, sehingga tidak ada itu tindak diskriminatif yang merugikan
kalangan non muslim. Bahkan manakala mayoritas diwajibkan tunduk dan
patuh kepada Syariat Islam, justru minoritas akan terlindungi, karena
Syariat Islam adalah Syariat Rahmat untuk semesta alam. Soal adat dan
budaya, Islam selalu memberi ruang pelestarian dan pengembangannya
selama tidak melanggar norma agama. Ada pun yang melanggar mesti
diluruskan, seperti adat telanjang tanpa pakaian di depan umum, itu
bukan budaya terpuji, tapi keterbelakangan. Nah, keterbelakangan itu
harus dibina agar berperadaban, bukan dilestarikan agar tetap primitif.
Fakta
dan Data di atas sudah cukup membuktikan bahwa paradigma Komnas HAM
murni merupakan paradigma HAM Barat. Bahkan ada indikasi lain yang
menunjukkan bahwa Komnas HAM memang sudah jadi Antek Barat, antara lain
adalah tingginya tingkat pembelaan Komnas HAM terhadap "kasus-kasus
kecil" yang dialami minoritas seperti kasus HKBP di Ciketing Bekasi dan
Gereja Yasmin di Bogor, namun terhadap "kasus-kasus besar" seperti
pembantaian ribuan umat Islam dan pembakaran ratusan Masjid di Ambon,
Poso, Sambas dan Sampit, ternyata Komnas HAM tuli, bisu dan buta :
"Shummun Bukmun 'Umyun".
KESIMPULAN
Definisi
HAM yang benar adalah definisi yang diberikan Islam, yaitu bahwa HAM
adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir sebagai
karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan pernah bertentangan
dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah digariskan oleh Allah
SWT dan Rasulullah SAW.
Indonesia
sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim terbanyak dan terbesar di
dunia yang memiliki empat pilar negara yang berjiwakan Piagam Jakarta
dengan inti Ketuhanan Yang Maha Esa dan Syariat Islam, maka tidak ada
pilihan lain dalam soal HAM, kecuali hanya boleh mendefinisikan HAM
sesuai dengan definisi Islam.
Karenanya,
ke depan para Aktivis Islam dari berbagai Ormas Islam harus mampu
merebut semua posisi keanggotaan di Komnas HAM, sehingga mampu
menjadikan HAM dan KAM sebagai ruh dan jiwa dalam semua program dan
aktivitas Komnas HAM.
Demikianlah,
urgensi dan importensi pembahasan tentang HAM dalam Wawasan Kebangsaan
Indonesia, agar sejalan dengan pilar-pilar negara dan kebangsaan lainnya
yang telah dipaparkan selama ini dalam kolom Wawasan Kebangsaan di
Suara Islam ini. Semoga bisa menambah wawasan dan memberi wacana baru
yang menyegarkan serta membuka jalan kebenaran.
Hasbunallaahu Wa Ni'mal Wakiil, Ni'mal Maulaa Wa Ni'man Nashiir. Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata illaa Billaahil ‘Alyyil adzim. [slm/fpi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar