Kamis, 20 Juni 2013

AWAS KOMPENI NAGA !!!

Selasa, 11 Juni 2013 | 05:27 WIB
   

 AYO...GANYANG KONGLOMERAT PERAMPAS TANAH RAKYAT !!!
Dahulu di zaman penjajahan Belanda ada KOMPENI BULE yang suka merampas tanah dan harta rakyat, mereka dibantu oleh centeng-centeng pengkhianat bangsa dan negara. Kini, di zaman kemerdekaan hingga reformasi muncul KOMPENI NAGA yang juga suka merampas tanah dan harta rakyat dengan dibantu oleh oknum aparat dan pejabat serta preman bayaran berbaju ormas yang tega memusuhi rakyat demi memenuhi isi perut mereka. Sekarang sudah tiba saatnya rakyat harus melawan : Ayo, Hancurkan Kezaliman !  Tegakkan Keadilan ! Ganyang Kompeni Naga ! Allaaaaaahu Akbar !!!

Kompeni Naga Alam Sutera
Keluarga Ronah sejak tahun 1953 menempati dan menggarap lahan sawah mereka seluas 2,2 hektar di wilayah Tangerang untuk membiayai kehidupan mereka, dan mereka patuh membayar PBB hingga kini. Tatkala datang PT ALFA GOLDLAND REALTY di tahun 1980-an ke wilayah tersebut untuk membebaskan lahan masyarakat bagi pembangunan PERUMAHAN ALAM SUTERA, keluarga Ronah tidak tertarik untuk menjual lahannya karena merupakan sumber nafkah satu-satunya bagi mereka.


Di tahun 2000-an keluarga Ronah mulai kewalahan menggarap lahan sawah mereka, karena setelah pembangunan Perumahan Alam Sutera pihak pengembang sengaja memutus aliran irigasi yang selama ini mengairi sawah keluarga Ronah. Akhirnya, keluarga Ronah menyerah dan berencana menjual lahannya kepada pihak pengembang. Mereka mengurus Surat Keterangan Lurah Pakulonan (-sekarang Pakualam-) No.593.2 / 138 / Kel.Pld / XII / 2011 tertanggal 31 Oktober 2011 yang menerangkan keabsahan kepemilikan mereka atas lahan tersebut sebagaimana terdaftar di buku C Desa / Kelurahan Pakualam. Namun yang mengejutkan, tatkala mengurus surat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), mereka dikabarkan oleh pihak BPN bahwa lahan tersebut sudah dibuat Sertifikat HGB oleh pihak PT ALFA GOLDLAND REALTY sejak tahun 1984 dan diperpanjang pada tahun 1997.


Keluarga Ronah pun meminta BPN untuk memediasi pertemuan antara mereka dengan pengembang yang membuat sertifikat tanpa hak, akan tetapi pihak pengembang tidak pernah memenuhi tiga kali undangan BPN untuk mediasi. Akhirnya, di tahun 2012 pihak keluarga Ronah meminta bantuan BPN Propinsi Banten untuk meneliti keabsahan sertifikat tersebut, hasilnya sebagaimana tertuang dalam Surat BPN Propinsi Banten No.1031 / 600-36 / VII / 2012 tertanggal 16 Juli 2012 bahwa HGB Pengembang No.0378 / Pakualam (-dahulu HGB No.33 / Pakualam-) dibuat atas dasar Tanah Girik C No.1014 Persil 84 / D.IV seluas 7.110 m atas nama DJAIN LAGO, bukan atas dasar Tanah Girik C No.306 Persil 84 / D.IV seluas 9.040 atas nama RONAH, dan bukan juga atas dasar Tanah Girik C No.299 Persil 84 / D.IV seluas 13.000 m atas nama JENGKUR bin RONAH. Lahan DJAIN LAGO memang bersebelahan dengan lahan keluarga RONAH, dan lahan tersebut pun telah diambil dan dibangun oleh pengembang sejak lama, sehingga Sertifikat tersebut tidak ada kaitan sama sekali dengan lahan keluarga Ronah.


Berdasarkan kekuatan surat-surat tersebut, keluarga Ronah meminta bantuan advokasi melalui Jimmy Solihin & Partners, namun dalam tiga kali pertemuan pihak pengembang tetap “ngotot” bahwa lahan keluarga Ronah adalah milik mereka.  Bahkan di awal tahun 2013 pihak pengembang mulai “main kasar”. Pada tanggal 23 Januari 2013, Kompeni Naga Alam Sutera (AS) menggunakan sebuah Ormas Kedaerahan di Banten sebagai “centeng bayaran” untuk merubuhkan gubuk PETANI MISKIN keluarga Ronah di lahan sawah mereka, merusak tanaman yang siap panen, dan meratakan tanah dengan alat berat.


Keluarga Ronah pun dengan susah payah membangun kembali gubuknya, namun pada tanggal 30 Januari 2013 Kompeni Naga AS kembali mengerahkan “centeng bayaran” untuk merubuhkan gubuk tersebut, kali ini centengnya adalah kelompok preman dari Indonesia Timur. Setelah itu keluarga Ronah pun tetap membangun kembali gubuknya, tapi pada tanggal 5 Februari 2013, lagi-lagi Kompeni Naga AS menggerakkan “centeng bayaran”nya untuk merubuhkan kembali gubuk tersebut, kali ini para centeng dipimpin oleh seorang oknum bernama Sutopo yang “mengaku” sebagai anggota marinir aktif.


Semua peristiwa tersebut dilaporkan oleh keluarga Ronah ke Polres Metro Kabupaten Tangerang, tapi ironisnya pada tanggal 6 Februari 2013 justru keluarga Ronah yang dijadikan terlapor dan tersangka oleh Polres. Bahkan lebih ironisnya lagi, pada tanggal 15 Februari 2013 pihak Polres mendatangkan oknum dari BPN untuk melakukan pengukuran di lahan keluarga Ronah tanpa izin. Dan pada tanggal 23 Februari 2013 pihak Polres langsung merusak pagar dan merubuhkan gubuk keluarga Ronah di lahan tersebut. Serta pada tanggal 25 Februari 2013 Kasatreskrim Polres memerintahkan keluarga Ronah untuk keluar dari lahan tersebut dengan dalih bahwa Lurah Pakualam telah mencabut Surat Keterangannya tentang kepemilikan keluarga Ronah atas lahan tersebut. Anehnya, sampai saat ini keluarga Ronah mau pun pengacaranya tidak pernah melihat surat pencabutan tersebut. Jika pun ada, maka surat tersebut sama sekali tidak bisa membatalkan kepemilikan keluarga Ronah atas Tanah Girik dengan No Persil yang sudah tercatat dan terdaftar sejak lama di Kelurahan mau pun BPN. Biadab ! Polres Kabupaten Tangerang pun sudah jadi “centeng bayaran Kompeni Naga AS” untuk menindas rakyat lemah dan miskin.


Akhirnya, keluarga Ronah minta bantuan perlindungan ke Posko Laskar FPI Tangerang. Sejak saat itu, Laskar FPI bersama pengacara keluarga Ronah melakukan langkah-langkah pembelaan secara persuasif untuk mempertahankan Hak Rakyat Miskin yang mau dirampas secara keji oleh Konglomerat Jahat yang menggunakan centeng bayaran dari kalangan oknum aparat dan ormas mau pun preman.
Kali ini, untuk menghadapi keluarga Ronah yang dibela Laskar FPI Tangerang, maka Kompeni Naga AS pada tanggal 5 Juni 2013 tidak tanggung-tanggung, mereka mengerahkan tidak kurang dari seribu “centeng bayaran” nya yang terdiri dari Polisi dan Security serta Preman dari sejumlah Ormas kedaerahan dan kepemudaan yang dipersenjatai dengan berbagai macam senjata. Berdasarkan laporan sejumlah warga setempat bahwa Kapolres sebagai komandan penyerangan, dan Sutopo sebagai korlapnya, serta orang dalam Kompeni Naga AS yang bernama Pramono dan Emil sebagai penyetor dana bayaran para centeng. Para centeng mengusir keluarga Ronah dan beberapa laskar FPI yang menjaganya, lalu merusak pagar lahan keluarga Ronah dan merubuhkan gubuk serta membakar harta benda keluarga Ronah, termasuk membakar bendera FPI yang bertuliskan LAA ILAAHA ILLALLAAH - MUHAMMADUR RASUULULLAAH sambil mencaci maki ISLAM.


Lucunya, pada saat penyerangan lahan oleh para centeng Kompeni Naga AS ke lahan keluarga Ronah, pihak Polres menyatakan bahwa mereka telah mendapat “Surat Eksekusi” dari pengadilan sambil mengacung-acungkan kertas tanpa memperlihatkan isinya. Sejak kapan ada “Surat Eksekusi” dari pengadilan tanpa digelar sidang ?! Dan sejak kapan pengeksekusian dilakukan tanpa juru sita pengadilan ?! Serta sejak kapan Polisi jadi petugas eksekusi pengadilan ?! Dasar centeng penipu !!!

 
Kemudian pada tanggal 6 Juni 2013 seribu Laskar FPI dari Tangerang dan sekitarnya mendatangi lahan keluarga Ronah untuk memberi pembelaan, lalu dihadang oleh seribuan centeng Kompeni Naga AS yang dipersenjatai. Saksi di lapangan menyatakan bahwa Kapolres sengaja membenturkan FPI dengan para centeng, namun setelah terjadi bentrokan, akhirnya para centeng tersebut kocar-kacir melarikan diri ketakutan. Setelah itu terjadi kesepakatan antara FPI dan Polres bahwa lahan keluarga Ronah diberikan Police Line dan tidak boleh digunaan oleh siapa pun sebelum jelas status hukumnya, selanjutnya FPI membubarkan diri. Namun saat FPI sudah membubarkan diri, pihak Polres khianat dengan menganiaya sejumlah Habib dan Ustadz yang tertinggal dari rombongan serta menangkap dan menahan mereka. Police Line pun mereka cabut atas permintaan Kompeni Naga AS


Tengah malamnya, Polres menggerebek rumah keluarga Ronah di desa sebelah Perumahan Alam Sutera, lalu mengobrak-abrik seisi rumah untuk mencari “Surat Tanah” lahan keluarga Ronah. Karena surat yang dicari tidak didapat, maka tiga orang keluarga Ronah dianiaya dan digelandang ke Polres serta diperiksa dan ditahan hingga kini tanpa didampingi pengacara. Akibat kejadian tersebut, semua keluarga Ronah ketakutan dan melarikan diri membawa surat tanah yang selama ini mereka sembunyikan. Kini, keluarga Ronah berikut surat tanah tersebut dalam perlindungan dan pengamanan Laskar FPI. Mereka semua berikut surat tanahnya ditempatkan di lokasi aman.


Karenanya, pada tanggal 10 Juni 2013 FPI bersama Ormas-Ormas Islam mendatangi Mapolda Metro Jaya dan Mabes Polri untuk melaporkan kejahatan Kompeni Naga Alam Sutera dengan gerombolan centengnya, termasuk para perwira dan staff Polres Metro Kabupaten Tangerang yang terlibat. Sekaligus mendorong Polri untuk membersihkan tubuh Polri dari Budak Kompeni Naga !!! Polri harus bersih, dan harus selalu menegakkan keadilan, serta wajib senantiasa melindungi rakyat yang terzalimi !!!


Kompeni Naga Pantai Indah Kapuk

Kompeni Naga Alam Sutera bukan satu-satunya Kompeni Naga di Indonesia yang suka merampas lahan rakyat lemah dan miskin, masih banyak lagi Kompeni-Kompeni Naga perampas lahan rakyat lainnya, di antaranya adalah Kompeni Naga Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta.
HAMIM RACHMAT sejak tahun 1969 memiliki lahan secara sah seluas 67,65 Hektar di Petak 46, 47, 48 dan 49 di Keluarahan Kapuk Muara (d/h Kel. Kapuk) Kecamatan Penjaringan (d/h Kec. Cengkareng), Kodya Jakarta Utara (d/h Jakarta Barat) DKI Jakarta. Pada tahun 1981 lahan tersebut dirampas secara zolim oleh Kompeni Naga PIK.


Padahal, lahan tersebut diakui sebagai milik Hamim Rachmat oleh Surat Walikota Jakarta Utara No.2826 / 073526.3 / set / 81 tertanggal 27 Oktober 1981 ditanda-tangani oleh Sekretaris Kodya Jakarta Utara Drs. Harun Ar-Rasyid. Namun pada tahun 1987, Hamim Rachmat justru ditahan polisi atas laporan Kompeni Naga PIK, dan dipidana penjara melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No.159 / pid / B / 1987 / PN.JKT tanggal 5 November 1987. Namun Hamim Rachmat tidak putus asa, terus melakukan banding hingga kasasi di pengadilan. Akhirnya, pada tahun 1991 dibebaskan dari segala dakwaan dan dinyatakan berhak atas tanah garapnya oleh putusan Mahkamah Agung RI No.465 K / pid / 1991 yang dibacakan pada tanggal 5 Agustus 1992. Namun demikian, Kompeni Naga PIK tetap tidak mau membayar ganti rugi lahan Hamim Rachmat yang dirampasnya hingga yang bersangkutan wafat pada tanggal 12 Agustus 2002.


Sepeninggal almarhum Hamim Rachmat, maka para Ahli Waris melanjutkan upaya mendapatkan ganti rugi dari lahan orang tua mereka yang dirampas oleh Kompeni Naga PIK. Hasilnya, pada tanggal 15 Maret 2004 kepemilikan alm. Hamim Rachmat diakui oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta sebagaimana tertuang dalam Notulen Rapat di Kantor Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Selanjutnya telah beberapa kali dirapatkan di Komisi II DPR RI pada tahun 2006, bahkan telah dikunjungi dan ditinjau langsung oleh Tim Kerja Pertanahan Komisi II DPR RI pada tanggal 21 Februari 2007 yang diketuai oleh Drs. Priyo Budi Santoso dari Fraksi Golkar. Namun tetap saja hingga kini Kompeni Naga PIK tidak mau membayar ganti rugi lahan tersebut. Sudah 33 tahun (dari tahun 1981 s/d 2013) keluarga alm. Hamim Rachmat dizalimi Kompeni Naga PIK. Sementara Pemda DKI Jakarta hingga Pemerintah Pusat dan DPR RI pun lumpuh di hadapan Kompeni Naga PIK, ada apa ?!

 
DPP FPI telah menyurati Kompeni Naga PIK tentang persoalan alm. Hamim Rachmat tersebut sejak tanggal 2 Februari 2009, tapi tidak digubris hingga saat ini. Mungkin Kompeni Naga PIK sedang menyiapkan diri untuk peristiwa Alam Sutera jilid berikutnya ???!!! 


Kompeni Naga Jahat
Kompeni Naga Jahat di Indonesia bukan hanya Alam Sutera dan PIK, masih banyak Kompeni Naga Jahat lainnya yang harus dilawan dan dibasmi. Di Kalimantan Tengah, lahan masyarakat Dayak Seruyan dirampas oleh perusahaan perkebunan milik Kompeni Naga Jahat yang dilindungi Gubernur Kalteng Teras Nerang. Seorang tokoh Dayak Seruyan yang menjadi anggota DPRD Seruyan, H. Budhi, dijebloskan ke penjara karena membela hak masyarakatnya yang dirampas tersebut. Delegasi DPP FPI yang mencoba untuk membela masyarakat Dayak Seruyan yang tertindas, justru dikepung di Bandara Palangka Raya untuk dibunuh oleh ribuan preman bayaran Sang Gubernur Zalim yang menjadi Kacung Kompeni Naga Jahat.


Di Mesuji – Lampung, lahan masyarakat juga dirampas oleh perusahaan perkebunan milik Kompeni Naga Jahat. Bahkan masyarakat petani diadu domba dengan para pekerja perkebunan, hingga terjadi penyembelihan beberapa petani. DPP FPI  mendampingi masyarakat Mesuji yang tertindas saat melapor ke DPR RI, DPD RI, Komnas HAM RI dan Mabes Polri, namun hingga kini tetap belum dituntaskan Pemerintah Pusat. Saat ini, atas permintaan Bupati setempat FPI kembali hadir di Mesuji – Lampung untuk memediasi semua pihak yang bertikai agar mendapatkan solusi terbaik. Proses penyelesaian masih terus berjalan.


Oleh karena itu, rakyat dalam mempertahankan haknya dari kezaliman Kompeni Naga Jahat tidak bisa lagi berharap bantuan Pemerintah Pusat mau pun Daerah yang mandul, atau perlindungan aparat yang justru menjadi centeng Kompeni Naga Jahat, tapi sudah saatnya rakyat secara bersama-sama melawan habis-habisan para Kompeni Naga Jahat yang merampas hak mereka. Mari serukan bersama :


                                                           AYO…GANYANG KOMPENI NAGA JAHAT
                                                                        PERAMPAS TANAH RAKYAT
                                                                   TUNTUTAN FPI DAN UMAT ISLAM :
                                            1.   Kembalikan lahan rakyat yang dirampas Konglomerat Jahat.
                                            2.   Pecat oknum polisi yang membekingi perampasan lahan rakyat.
                                            3.   Tangkap semua preman yang terlibat perampasan lahan rakyat.
                                            4.   Bebaskan para Ustadz, Laskar dan Aktivis yang ditangkap karena bela hak rakyat.
                                            5.   Bersihkan Institusi Polri dari oknum Budak Kompeni Naga Jahat.
                                                                          Jakarta, 10 Juni 2013
[slm/fpi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar