Selasa, 11 Juni 2013 | 05:27 WIB
AYO...GANYANG KONGLOMERAT PERAMPAS TANAH RAKYAT !!!
Dahulu
di zaman penjajahan Belanda ada KOMPENI BULE yang suka merampas tanah
dan harta rakyat, mereka dibantu oleh centeng-centeng pengkhianat bangsa
dan negara. Kini, di zaman kemerdekaan hingga reformasi muncul KOMPENI
NAGA yang juga suka merampas tanah dan harta rakyat dengan dibantu oleh
oknum aparat dan pejabat serta preman bayaran berbaju ormas yang tega
memusuhi rakyat demi memenuhi isi perut mereka. Sekarang sudah tiba
saatnya rakyat harus melawan : Ayo, Hancurkan Kezaliman ! Tegakkan Keadilan ! Ganyang Kompeni Naga ! Allaaaaaahu Akbar !!!
Kompeni Naga Alam Sutera
Keluarga
Ronah sejak tahun 1953 menempati dan menggarap lahan sawah mereka
seluas 2,2 hektar di wilayah Tangerang untuk membiayai kehidupan mereka,
dan mereka patuh membayar PBB hingga kini. Tatkala datang PT ALFA
GOLDLAND REALTY di tahun 1980-an ke wilayah tersebut untuk membebaskan
lahan masyarakat bagi pembangunan PERUMAHAN ALAM SUTERA, keluarga Ronah
tidak tertarik untuk menjual lahannya karena merupakan sumber nafkah
satu-satunya bagi mereka.
Di
tahun 2000-an keluarga Ronah mulai kewalahan menggarap lahan sawah
mereka, karena setelah pembangunan Perumahan Alam Sutera pihak
pengembang sengaja memutus aliran irigasi yang selama ini mengairi sawah
keluarga Ronah. Akhirnya, keluarga Ronah menyerah dan berencana menjual
lahannya kepada pihak pengembang. Mereka mengurus Surat Keterangan
Lurah Pakulonan (-sekarang Pakualam-) No.593.2 / 138 / Kel.Pld / XII /
2011 tertanggal 31 Oktober 2011 yang menerangkan keabsahan kepemilikan
mereka atas lahan tersebut sebagaimana terdaftar di buku C Desa /
Kelurahan Pakualam. Namun yang mengejutkan, tatkala mengurus surat ke
Badan Pertanahan Nasional (BPN), mereka dikabarkan oleh pihak BPN bahwa
lahan tersebut sudah dibuat Sertifikat HGB oleh pihak PT ALFA GOLDLAND
REALTY sejak tahun 1984 dan diperpanjang pada tahun 1997.
Keluarga
Ronah pun meminta BPN untuk memediasi pertemuan antara mereka dengan
pengembang yang membuat sertifikat tanpa hak, akan tetapi pihak
pengembang tidak pernah memenuhi tiga kali undangan BPN untuk mediasi.
Akhirnya, di tahun 2012 pihak keluarga Ronah meminta bantuan BPN
Propinsi Banten untuk meneliti keabsahan sertifikat tersebut, hasilnya
sebagaimana tertuang dalam Surat BPN Propinsi Banten No.1031 / 600-36 /
VII / 2012 tertanggal 16 Juli 2012 bahwa HGB Pengembang No.0378 /
Pakualam (-dahulu HGB No.33 / Pakualam-) dibuat atas dasar Tanah Girik C
No.1014 Persil 84 / D.IV seluas 7.110 m atas nama DJAIN LAGO, bukan
atas dasar Tanah Girik C No.306 Persil 84 / D.IV seluas 9.040 atas nama
RONAH, dan bukan juga atas dasar Tanah Girik C No.299 Persil 84 / D.IV
seluas 13.000 m atas nama JENGKUR bin RONAH. Lahan DJAIN LAGO memang
bersebelahan dengan lahan keluarga RONAH, dan lahan tersebut pun telah
diambil dan dibangun oleh pengembang sejak lama, sehingga Sertifikat
tersebut tidak ada kaitan sama sekali dengan lahan keluarga Ronah.
Berdasarkan
kekuatan surat-surat tersebut, keluarga Ronah meminta bantuan advokasi
melalui Jimmy Solihin & Partners, namun dalam tiga kali pertemuan
pihak pengembang tetap “ngotot” bahwa lahan keluarga Ronah adalah milik mereka. Bahkan di awal tahun 2013 pihak pengembang mulai “main kasar”. Pada tanggal 23 Januari 2013, Kompeni Naga Alam Sutera (AS) menggunakan sebuah Ormas Kedaerahan di Banten sebagai “centeng bayaran”
untuk merubuhkan gubuk PETANI MISKIN keluarga Ronah di lahan sawah
mereka, merusak tanaman yang siap panen, dan meratakan tanah dengan alat
berat.
Keluarga Ronah pun dengan susah payah membangun kembali gubuknya, namun pada tanggal 30 Januari 2013 Kompeni Naga AS kembali mengerahkan “centeng bayaran” untuk merubuhkan gubuk tersebut, kali ini centengnya adalah kelompok preman dari Indonesia Timur. Setelah itu keluarga Ronah pun tetap membangun kembali gubuknya, tapi pada tanggal 5 Februari 2013, lagi-lagi Kompeni Naga AS menggerakkan “centeng bayaran”nya untuk merubuhkan kembali gubuk tersebut, kali ini para centeng dipimpin oleh seorang oknum bernama Sutopo yang “mengaku” sebagai anggota marinir aktif.
Semua
peristiwa tersebut dilaporkan oleh keluarga Ronah ke Polres Metro
Kabupaten Tangerang, tapi ironisnya pada tanggal 6 Februari 2013 justru
keluarga Ronah yang dijadikan terlapor dan tersangka
oleh Polres. Bahkan lebih ironisnya lagi, pada tanggal 15 Februari 2013
pihak Polres mendatangkan oknum dari BPN untuk melakukan pengukuran di
lahan keluarga Ronah tanpa izin. Dan pada
tanggal 23 Februari 2013 pihak Polres langsung merusak pagar dan
merubuhkan gubuk keluarga Ronah di lahan tersebut. Serta pada tanggal 25
Februari 2013 Kasatreskrim Polres
memerintahkan keluarga Ronah untuk keluar dari lahan tersebut dengan
dalih bahwa Lurah Pakualam telah mencabut Surat Keterangannya tentang
kepemilikan keluarga Ronah atas lahan tersebut. Anehnya, sampai saat ini
keluarga Ronah mau pun pengacaranya tidak pernah melihat surat
pencabutan tersebut. Jika pun ada, maka surat tersebut sama sekali tidak
bisa membatalkan kepemilikan keluarga Ronah atas Tanah Girik dengan No
Persil yang sudah tercatat dan terdaftar sejak lama di Kelurahan mau pun
BPN. Biadab ! Polres Kabupaten Tangerang pun sudah jadi “centeng bayaran Kompeni Naga AS” untuk menindas rakyat lemah dan miskin.
Akhirnya,
keluarga Ronah minta bantuan perlindungan ke Posko Laskar FPI
Tangerang. Sejak saat itu, Laskar FPI bersama pengacara keluarga Ronah
melakukan langkah-langkah pembelaan secara persuasif untuk
mempertahankan Hak Rakyat Miskin yang mau dirampas secara keji oleh Konglomerat Jahat yang menggunakan centeng bayaran dari kalangan oknum aparat dan ormas mau pun preman.
Kali ini, untuk menghadapi keluarga Ronah yang dibela Laskar FPI Tangerang, maka Kompeni Naga AS pada tanggal 5 Juni 2013 tidak tanggung-tanggung, mereka mengerahkan tidak kurang dari seribu “centeng bayaran” nya yang terdiri dari Polisi dan Security serta Preman dari sejumlah Ormas kedaerahan dan kepemudaan yang dipersenjatai dengan berbagai macam senjata. Berdasarkan laporan sejumlah warga setempat bahwa Kapolres sebagai komandan penyerangan, dan Sutopo sebagai korlapnya, serta orang dalam Kompeni Naga AS yang bernama Pramono dan Emil sebagai
penyetor dana bayaran para centeng. Para centeng mengusir keluarga
Ronah dan beberapa laskar FPI yang menjaganya, lalu merusak pagar lahan
keluarga Ronah dan merubuhkan gubuk serta membakar harta benda keluarga Ronah, termasuk membakar bendera FPI yang bertuliskan LAA ILAAHA ILLALLAAH - MUHAMMADUR RASUULULLAAH sambil mencaci maki ISLAM.
Lucunya, pada saat penyerangan lahan oleh para centeng Kompeni Naga AS ke lahan keluarga Ronah, pihak Polres menyatakan bahwa mereka telah mendapat “Surat Eksekusi” dari pengadilan sambil mengacung-acungkan kertas tanpa memperlihatkan isinya. Sejak kapan ada “Surat Eksekusi”
dari pengadilan tanpa digelar sidang ?! Dan sejak kapan pengeksekusian
dilakukan tanpa juru sita pengadilan ?! Serta sejak kapan Polisi jadi
petugas eksekusi pengadilan ?! Dasar centeng penipu !!!
Kemudian
pada tanggal 6 Juni 2013 seribu Laskar FPI dari Tangerang dan
sekitarnya mendatangi lahan keluarga Ronah untuk memberi pembelaan, lalu
dihadang oleh seribuan centeng Kompeni Naga AS
yang dipersenjatai. Saksi di lapangan menyatakan bahwa Kapolres sengaja
membenturkan FPI dengan para centeng, namun setelah terjadi bentrokan,
akhirnya para centeng tersebut kocar-kacir melarikan diri ketakutan.
Setelah itu terjadi kesepakatan antara FPI dan Polres bahwa lahan
keluarga Ronah diberikan Police Line dan tidak boleh digunaan oleh siapa pun sebelum jelas status hukumnya, selanjutnya FPI membubarkan diri. Namun saat FPI sudah membubarkan diri, pihak Polres khianat dengan menganiaya sejumlah Habib dan Ustadz yang tertinggal dari rombongan serta menangkap dan menahan mereka. Police Line pun mereka cabut atas permintaan Kompeni Naga AS.
Tengah
malamnya, Polres menggerebek rumah keluarga Ronah di desa sebelah
Perumahan Alam Sutera, lalu mengobrak-abrik seisi rumah untuk mencari “Surat Tanah”
lahan keluarga Ronah. Karena surat yang dicari tidak didapat, maka tiga
orang keluarga Ronah dianiaya dan digelandang ke Polres serta diperiksa
dan ditahan hingga kini tanpa didampingi pengacara. Akibat kejadian
tersebut, semua keluarga Ronah ketakutan dan melarikan diri membawa
surat tanah yang selama ini mereka sembunyikan. Kini, keluarga Ronah
berikut surat tanah tersebut dalam perlindungan dan pengamanan Laskar
FPI. Mereka semua berikut surat tanahnya ditempatkan di lokasi aman.
Karenanya, pada tanggal 10 Juni 2013 FPI bersama Ormas-Ormas Islam mendatangi Mapolda Metro Jaya dan Mabes Polri untuk melaporkan kejahatan Kompeni Naga Alam Sutera
dengan gerombolan centengnya, termasuk para perwira dan staff Polres
Metro Kabupaten Tangerang yang terlibat. Sekaligus mendorong Polri untuk
membersihkan tubuh Polri dari Budak Kompeni Naga !!! Polri harus bersih, dan harus selalu menegakkan keadilan, serta wajib senantiasa melindungi rakyat yang terzalimi !!!
Kompeni Naga Pantai Indah Kapuk
Kompeni
Naga Alam Sutera bukan satu-satunya Kompeni Naga di Indonesia yang suka
merampas lahan rakyat lemah dan miskin, masih banyak lagi
Kompeni-Kompeni Naga perampas lahan rakyat lainnya, di antaranya adalah Kompeni Naga Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta.
HAMIM
RACHMAT sejak tahun 1969 memiliki lahan secara sah seluas 67,65 Hektar
di Petak 46, 47, 48 dan 49 di Keluarahan Kapuk Muara (d/h Kel. Kapuk)
Kecamatan Penjaringan (d/h Kec. Cengkareng), Kodya Jakarta Utara (d/h
Jakarta Barat) DKI Jakarta. Pada tahun 1981 lahan tersebut dirampas
secara zolim oleh Kompeni Naga PIK.
Padahal,
lahan tersebut diakui sebagai milik Hamim Rachmat oleh Surat Walikota
Jakarta Utara No.2826 / 073526.3 / set / 81 tertanggal 27 Oktober 1981
ditanda-tangani oleh Sekretaris Kodya Jakarta Utara Drs. Harun Ar-Rasyid. Namun pada tahun 1987, Hamim Rachmat justru ditahan polisi atas laporan Kompeni Naga PIK,
dan dipidana penjara melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara
No.159 / pid / B / 1987 / PN.JKT tanggal 5 November 1987. Namun Hamim
Rachmat tidak putus asa, terus melakukan banding hingga kasasi di
pengadilan. Akhirnya, pada tahun 1991 dibebaskan dari segala dakwaan dan
dinyatakan berhak atas tanah garapnya oleh putusan Mahkamah Agung RI
No.465 K / pid / 1991 yang dibacakan pada tanggal 5 Agustus 1992. Namun
demikian, Kompeni Naga PIK tetap tidak mau
membayar ganti rugi lahan Hamim Rachmat yang dirampasnya hingga yang
bersangkutan wafat pada tanggal 12 Agustus 2002.
Sepeninggal
almarhum Hamim Rachmat, maka para Ahli Waris melanjutkan upaya
mendapatkan ganti rugi dari lahan orang tua mereka yang dirampas oleh Kompeni Naga PIK.
Hasilnya, pada tanggal 15 Maret 2004 kepemilikan alm. Hamim Rachmat
diakui oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta sebagaimana tertuang dalam
Notulen Rapat di Kantor Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Selanjutnya telah
beberapa kali dirapatkan di Komisi II DPR RI pada tahun 2006, bahkan
telah dikunjungi dan ditinjau langsung oleh Tim Kerja Pertanahan Komisi
II DPR RI pada tanggal 21 Februari 2007 yang diketuai oleh Drs. Priyo Budi Santoso dari Fraksi Golkar. Namun tetap saja hingga kini Kompeni Naga PIK tidak mau membayar ganti rugi lahan tersebut. Sudah 33 tahun (dari tahun 1981 s/d 2013) keluarga alm. Hamim Rachmat dizalimi Kompeni Naga PIK. Sementara Pemda DKI Jakarta hingga Pemerintah Pusat dan DPR RI pun lumpuh di hadapan Kompeni Naga PIK, ada apa ?!
DPP FPI telah menyurati Kompeni Naga PIK tentang persoalan alm. Hamim Rachmat tersebut sejak tanggal 2 Februari 2009, tapi tidak digubris hingga saat ini. Mungkin Kompeni Naga PIK sedang menyiapkan diri untuk peristiwa Alam Sutera jilid berikutnya ???!!!
Kompeni Naga Jahat
Kompeni Naga Jahat di Indonesia bukan hanya Alam Sutera dan PIK, masih banyak Kompeni Naga Jahat lainnya yang harus dilawan dan dibasmi. Di Kalimantan Tengah, lahan masyarakat Dayak Seruyan dirampas oleh perusahaan perkebunan milik Kompeni Naga Jahat yang dilindungi Gubernur Kalteng Teras Nerang. Seorang tokoh Dayak Seruyan yang menjadi anggota DPRD Seruyan, H. Budhi,
dijebloskan ke penjara karena membela hak masyarakatnya yang dirampas
tersebut. Delegasi DPP FPI yang mencoba untuk membela masyarakat Dayak
Seruyan yang tertindas, justru dikepung di Bandara Palangka Raya untuk
dibunuh oleh ribuan preman bayaran Sang Gubernur Zalim yang menjadi Kacung Kompeni Naga Jahat.
Di Mesuji – Lampung,
lahan masyarakat juga dirampas oleh perusahaan perkebunan milik Kompeni
Naga Jahat. Bahkan masyarakat petani diadu domba dengan para pekerja
perkebunan, hingga terjadi penyembelihan beberapa petani. DPP FPI mendampingi
masyarakat Mesuji yang tertindas saat melapor ke DPR RI, DPD RI, Komnas
HAM RI dan Mabes Polri, namun hingga kini tetap belum dituntaskan
Pemerintah Pusat. Saat ini, atas permintaan Bupati setempat FPI kembali
hadir di Mesuji – Lampung untuk memediasi semua pihak yang bertikai agar
mendapatkan solusi terbaik. Proses penyelesaian masih terus berjalan.
Oleh karena itu, rakyat dalam mempertahankan haknya dari kezaliman Kompeni Naga Jahat tidak
bisa lagi berharap bantuan Pemerintah Pusat mau pun Daerah yang mandul,
atau perlindungan aparat yang justru menjadi centeng Kompeni Naga
Jahat, tapi sudah saatnya rakyat secara bersama-sama melawan
habis-habisan para Kompeni Naga Jahat yang merampas hak mereka. Mari serukan bersama :
AYO…GANYANG KOMPENI NAGA JAHAT
PERAMPAS TANAH RAKYAT
TUNTUTAN FPI DAN UMAT ISLAM :
1. Kembalikan lahan rakyat yang dirampas Konglomerat Jahat.
2. Pecat oknum polisi yang membekingi perampasan lahan rakyat.
3. Tangkap semua preman yang terlibat perampasan lahan rakyat.
4. Bebaskan para Ustadz, Laskar dan Aktivis yang ditangkap karena bela hak rakyat.
5. Bersihkan Institusi Polri dari oknum Budak Kompeni Naga Jahat.
Jakarta, 10 Juni 2013
[slm/fpi]