Sabtu, 17/08/2013 11:57:40 |
syaiful falah | Dibaca : 2813
Jakarta (SI Online) - Dalam suasana kemerdekaan Indonesia, redaksi
sengaja menurunkan kembali tulisan seputar sejarah bangsa ini yang
sebelumnya pernah dimuat. Adalah Habib Muhammad Rizieq Syihab MA,
seorang ulama sekaligus kandidat doktor juga pemimpin umat yang mampu
mengkombinasikan kemampuan berbicara/berceramah dengan kemahiran
menulis. Dengan bukunya yang ilmiah tentang pelurusan sejarah dan dasar
negara Indonesia yang berjudul "Wawasan Kebangsaan, Menuju NKRI
Bersyariah" telah membongkar bagaimana dan seharusnya bentuk negara ini.
Dalam pertemuan tokoh umat Islam beberapa waktu lalu, secara singkat
Habib Rizieq menguraikan sejarah, bahwa ketika perdebatan tentang Dasar
Negara sebelum kemerdekaan diproklamirkan, Muhammad Yamin, Soepomo dan
Soekarno mengajukan usulannya.
Pada tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Muhammad Yamin mengusulkan Lima Dasar
Negara tanpa menggunakan istilah Pancasila. Lima Dasar Negara usulan M.
Yamin adalah: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan, 3. Peri
Ketuhanan, 4. Peri Kerakyatan, 5. Kesejahteraan Sosial.
Pada sidang terakhir BPUPKI 1 Juni 1945 Soekarno mengajukan Lima Dasar:
1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, 3.
Mufakat atau Demokrasi, 4. Keadilan Sosial, 5. Ketuhanan. “Baik usulan
Soepomo, Yamin maupun ‘Pancasilanya Soekarno’, itu tidak pernah menjadi
kesepakatan maupun keputusan BPUPKI,” kata Habib Rizieq.
Kata Habib Rizieq, sidang berjalan alot. BPUPKI terbelah antara kelompok
sekuler dengan kelompok Islam. Kelompok Islam sudah tentu menginginkan
Negara berdasarkan Islam, dan ditentang kelompok sekuler. Akhirnya
sidang membentuk Panitia Sembilan. “Ada empat ulama dalam Panitia
Sembilan ini, yaitu KH Abdul Wahid Hasyim (NU), KH Abdul Qohar Muzakkir
(Muhammadiyah), KH Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso, keduanya dari
Syarikat Islam,” ujar Habib Rizieq. Sementara golongan sekuler diwakili
Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Ahmad Soebardjo. Dan, kalangan Kristen
diwakili A.A Maramis.
Habib Rizieq menegaskan, justru Panitia Sembilan yang berhasil
menetapkan Dasar Negara yang dibingkai dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni
1945. Lima Dasar Negara itu adalah: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang
adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Malah sebelumnya, bunyi sila pertama versi Piagam Jakarta itu adalah:
‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’, tanpa diikuti
kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’. Tetapi kemudian muncul kompromi
dengan menambah kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’.
Disepakati pula saat proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta ini secara
resmi akan dibacakan. Tapi, kata Habib Rizieq, terjadi penelikungan.
Pada 17 Agustus 1945 itu bukan Piagam Jakarta yang secara resmi
dibacakan, melainkan secara dadakan Soekarno membuat teks proklamasi
dengan singkat lewat tulisan tangan. Teks proklamasi dadakan dan singkat
inilah yang dibacakan untuk proklamasi kemerdekaan sebagaimana dikenal
sampai sekarang.
Parahnya lagi, pada keesokan harinya, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang, dan terjadilah terjadi
pengkhianatan. Tanpa melibatkan wakil-wakil Islam sebagaimana dalam
sidang BPUPKI sebelumnya, terjadilah pencoretan tujuh kata dalam sila
pertama yang berbunyi: ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya’.
Dalih bahwa kalangan Kristen Indonesia Timur akan menarik diri dari NKRI
jika Piagam Jakarta dideklarasikan seperti disampaikan Hatta yang,
katanya, mendapat informasi dari opsir Jepang, menurut sejarawan dan
budayawan Ridwan Saidi, itu dusta belaka. Tak ada faktanya.
Tanpa melibatkan wakil-wakil islam dalam pengesahan Dasar Negara
Pancasila yang berbeda dengan Piagam Jakarta, sesungguhnya sidang PPKI
18 Agustus 1945 itu tidak sah. Jadi, sebenarnya sampai sekarang jika
umat Islam menegakkan syariat Islam di republik ini adalah sah. Yang
berlawanan atau menentang, justru masuk kategori subversif.
Toh, meskipun demikian, kata Habib Rizieq, sila pertama yang diganti
(tanpa melibatkan wakil-wakil Islam) menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”,
itu pun jelas maksudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Esa
itu hanya ada dalam Islam. Ditambah lagi ditegaskan dalam Muqaddimah UUD
1945 pada alenia ketiga: “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”,
ini jelas merujuk kepada Islam.
Dengan pengkhianatan ini, sesungguhnya sidang PPKI yang tak melibatkan
wakil-wakil Islam yang sudah menyepakati Piagam Jakarta bersama kelompok
sekuler dan satu orang wakil dari golongan Kristen, adalah tidak sah.
Dasar Negara yang sah adalah yang disepakati dan ditandatangani pada 22
Juni 1945 yang terdapat dalam Piagam Jakarta. “Historisnya, Pancasilanya
Soekarno ditolak. Yang disepakati adalah Dasar Negara yang terdapat
dalam Piagam Jakarta,” ungkap Habib Rizieq.
Lantas, kata Habib Rizieq, bagaimana ceritanya ujuk-ujuk Indonesia
disebut sebagai Negara Demokrasi? Pancasila yang dijadikan sebagai Dasar
Negara (lewat pengkhianatan) itu tidak menyebut republik ini sebagai
sebagai Negara Demokrasi. Tapi, lucunya, ungkap Habib Rizieq, Soekarno
pernah mendeklarasikan Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin untuk
tujuan melindungi Komunisme. Sementara Soeharto mendeklare Demokrasi
Pancasila untuk melindungi Kebatinan.
Habib Rizieq menceritakan, ia pernah mendapat kunjungan dari beberapa
jenderal membahas soal ini. Menurut para jenderal itu, Indonesia adalah
Negara Demokrasi. Lalu, ujar Habib Rizieq, tidak ada kata-kata atau
kalimat dalam Pancasila atau UUD 45 yang menunjukkan Indonesia sebagai
Negara Demokrasi. “Ada,” jawab para jenderal itu, “Dalam Pancasila sila
ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan itu maksudnya adalah demokrasi.”……. “Itu
Musyawarah. Musyawarah itu berbeda dengan Demokrasi,” kata Habib Rizieq
kepada para jenderal itu. Kemudian Habib Rizieq menguraikan beda
Musyawarah dengan Demokrasi.
Akhirnya, cerita Habib Rizieq, jenderal-jenderal itu mengangguk bahwa
Indonesia bukan Negara Demokrasi, melainkan, semestinya disebut Negara
Musyawarah. Celakanya lagi, kata Habib Rizieq, jika Soekarno mendeklare
Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin dan Soeharto memaksakan
istilah Demokrasi Pancasila, eh di era “reformasi” kian parah. Ada
liberalisasi Pancasila. Pancasila diliberalkan.
Sebut misalnya, pemilihan presiden langsung atau kepala daerah yang
dipilih langsung, itu justru bertentangan dengan sila keempat Pancasila
yang menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dalam konteks ini, menurut
Habib Rizieq, ada unsur kesengajaan dengan mengorupsi terminologi
(istilah). Kelompok sekuler menafsirkan seenaknya, sehingga kata
Musyawarah ditafsirkan sebagai Demokrasi.
Dalam hal ini, Habib Rizieq menambahkan, termasuk, misalnya, penggunaan
istilah parlemen, itu juga untuk mengaburkan kata Musyawarah dan
Perwakilan. “Jangan sebut parlemen, tapi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),” tegasnya.
Ini bermula dari pengkhianatan terhadap Islam dan kaum Muslimin yang
berkuah darah bermandikan keringat dalam merebut kemerdekaan republik
ini. Umat Islam sebagai pemegang saham mayoritas negeri ini adalah yang
berhak menetapkan Dasar Negara dan mengisi pembangunan republik dengan
landasan syariat islam.
Jika ada pihak yang mengatakan, ini bukan Negara Islam, kalau ente mau
menegakkan syariat Islam di Negara ini, dan tidak suka dengan kondisi
Indonesia sekarang, ‘silakan keluar’, maka, kata Habib Rizieq, justru
sebaliknya, merekalah yang harus keluar. Sebab, penetapan Dasar Negara
Indonesia yang dibingkai dalam Piagam Jakarta itulah yang sah, karena
disepakati dan ditandatangani oleh para pendiri bangsa ini, tapi terjadi
penelikungan dan pengkhianatan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah
proklamasi kemerdekaan—dimana teks proklamasi yang semestinya adalah
pembacaan Piagam Jakarta secara resmi oleh Soekarno, bukan teks
proklamasi dadakan hasil dari tulisan tangan presiden pertama RI itu.
Bahkan, tak hanya menyepakati Dasar Negara dalam bingkai Piagam Jakarta,
umat Islamlah yang bermandikan darah bercucuran keringat untuk merebut
dan memerdekakan republik ini. Jadi, masuk akal jika kaum Muslimin
adalah yang paling berhak mengatur negeri ini. Ini historis. Jangan
mengingkari sejarah! Ini negeri Islam. Jadi, kata Habib Rizieq, umat
Islam harus mengisi negeri ini dengan syariat Islam, bukan malah minggir
apalagi keluar dari NKRI.
Jadi, apapun ceritanya, mengungkap historis perjalanan bangsa dan Negara
ini, lebih dari itu, Indonesia sebenarnya adalah Negara yang
berdasarkan Islam, setidaknya bagi pemeluk-pemeluknya diwajibkan
menjalankan dan menegakkan syariat Islam di persada ini. Yang protes dan
menghalangi, jutsru menentang kesepakatan ditandatanganinya perumusan
Dasar Negara dalam Piagam Jakarta!
Kalaupun tak mengacu pada Piagam Jakarta, Negara ini berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan
Yang Maha Esa itu adalah Allah. Ditambah lagi dalam Muqaddimah UUD 1945
ditegaskan, republik ini merdeka “Atas Berkat Rahmat Allah…” Bahkan,
imbuh Habib Rizieq, dalam batang tubuh UUD 45 pasal 29 ayat 1 dipertegas
lagi, ”Negara berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi, kata Habib Rizieq, sungguh sangat sah jika Indonesia berada dalam
NKRI Bersyariah -Negara Kesatuan yang melaksanakan dan menegakkan
syariat Islam. Negara yang berlandaskan Islam, menjalankan syariat
Islam, setidaknya bagi para pemeluknya- dan bukan Negara Pancasila,
apalagi Negara Demokrasi.