Selasa, 16 April 2013

Wawancara Khusus Bersama Mufti Besar Kesultanan Sulu Habib Rizieq Syihab

Senin, 08 April 2013 | 05:13 WIB
 
WAWANCARA KHUSUS DENGAN MUFTI BESAR KESULTANAN SULU DARUL ISLAM AL-HABIB MUHAMMAD RIZIEQ BIN HUSEIN SYIHAB, MA, DPMSS.
Nama Kesultanan Sulu yang semula tersembunyi dan hampir tidak ada yang tahu, tiba-tiba sontak menggemparkan dunia, akibat sekumpulan orang bersenjata mendatangi dan menyerang Lahad Datu - Sabah, Malaysia, atas nama "Tentara Kesultanan Sulu" untuk menuntut pengembalian Sabah ke pangkuan Kesultanan Sulu. Perang antara mereka dengan Tentara Diraja Malaysia pun tak dapat dielakkan lagi. 

Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata The Grand Mufti of Sulu adalah orang Indonesia yang sudah tidak asing lagi kiprahnya dalam dunia pergerakan Islam, dialah Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab. Dengan menyandang gelar Datu Paduka Maulana Syar'i Sulu disingkat DPMSS beliau dinobatkan oleh Sultan Sulu sebagai Mufti Besar bagi Sultanate of Sulu Darul Islam (SSDI) sejak tanggal 23 Rabi'ul Awwal 1430 H / 19 Maret 2009 M, tatkala beliau masih mendekam di sel penjara Polda Metro Jaya terkait Insiden Monas 1 Juni 2008.

Pada hari Senin 4 Maret 2013, Habib Rizieq selaku Mufti Besar Negeri Sulu dengan didampingi Menteri Luar Negeri Sulu Datu H. Zakariya dan menteri Pemuda Sulu Datu Asree Moro, sibuk dari pagi hingga malam melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak dari para petinggi Malaysia. Puncaknya menjelang tengah malam, rombongan Kesultanan Sulu yang dipimpin Sang Mufti diterima Menteri Pertahanan Malaysia Datu Sri Zahid Hamidi di sebuah Hotel Berbintang di Kuala Lumpur. Apa yang dirundingkan ? Berikut wawancara khusus SUARA ISLAM dengan Mufti Besar Sultanate of Sulu Darul Islam (SSDI) tentang apa dan bagaimana yang terjadi dengan Negeri Sulu sebenarnya.

SI : Habib, ada sejumlah penulis dan pengamat di Indonesia melalui berbagai media massa, yang menyebut persoalan Sulu hanyalah "pepesan kosong", menurut Habib ?

HABIB : Ungkapan tersebut hanya keluar dari sekumpulan orang yang "tidak tahu" apa-apa tentang Sulu, tapi "sok tahu".

SI : Habib bisa ceritakan sedikit tentang letak Kesultanan Sulu dan asal usulnya ?

HABIB : Pada awal abad 13 Miladiyyah, telah ramai datang para Ulama Ahlul Bait, yaitu para Habaib yang berasal dari Hadramaut - Yaman ke kepulauan Sulu dan Mindanau di Selatan Philipina untuk menyebarkan Islam. Da'wah mereka sukses dan berkah, sehingga hampir seluruh masyarakat disana memeluk Islam.
Pada Tahun 1405 M, Syariful Hasyim yang nama aslinya adalah Sayyid Abu Bakar, karena jasanya mengislamkan Sulu, maka dinobatkan oleh masyarakat Sulu sebagai Sultan untuk memimpin Kesultanan Islam Sulu, yang wilayahnya meliputi Pulau Palawan, Tawi-Tawi, Sabah, Sulu, Basilan dan Zamboanga.
Dan di Tahun 1515 M, masyarakat Mindanau menobatkan kerabat Sultan Sulu, yaitu Syarif Muhammad Kabungsuan, karena jasanya mengislamkan Mindanau, sebagai Sultan Mindanau dengan wilayah kekuasaan mencakup seluruh kepulaun Mindanau kecuali Zamboanga. Kedua Kesultanan Islam bersaudara, saling cinta dan bekerja sama. Bahkan ketika Spanyol datang hendak menjajah, kedua Kesultanan Islam tersebut bahu membahu mengalahkan Tentara Spanyol.

SI : Tapi dalam sejarah dunia disebutkan bahwa Spanyol dan Amerika Serikat pernah berkuasa atas Sulu dan Mindanau ?

HABIB : Tidak betul ! Yang benar Spanyol dan Amerika Serikat secara bergantian menguasai Phlipina, bukan Sulu dan Mindanau. Ada TIGA BUKTI sejarah yang menunjukkan hal terdebut :
Pertama, pada  tangal 7 November 1873, Menteri Inggris di Madrid, A.H.Layard, menyurati Kerajaan Spanyol dan menyatakan bahwa Inggris punya hak menolak kedaulatan Spanyol atas Sulu, karena masyarakat Sulu tidak pernah mengakui dan tunduk menyerah kepada Spanyol.
Kedua, dalam Perjanjian Paris Treaty tahun 1898 yang mengharuskan Spanyol menyerahkan seluruh jajahannya di Philipina kepada Amerika Serikat hanya menyebutkan dari wilayah Luzon sampai wilayah Vesayas, sehingga tidak termasuk Sulu dan Mindanau, karena memang Spanyol tidak pernah berhasil menguasai Sulu dan Mindanau.

Ketiga, dalam PETA yang dikeluarkan Perjanjian Paris Treaty tahun 1898 antara Amerika Serikat dan Spanyol dibuat GARIS PEMISAH antara wilayah jajahan Spanyol yang meliputi Luzon dan Vesayas dengan wilayah Moroland yang meliputi Sulu dan Mindanau.
Tapi memang, Spanyol dan Amerika Serikat selalu berupaya untuk menguasai Sulu dan Mindanau yang mereka sebut dengan bangsa MORO, tapi mereka selalu mendapat perlawanan sengit dari rakyat Sulu dan Mindanau, 

Jadi jelas, bahwa sejak berdiri Kesultanan Sulu mau pun Kesultanan Mindanau adalah Negeri Merdeka yang berdaulat, bukan bagian dari Philipina, Spanyol atau pun AS.

SI : Lalu, bagaimana ceritanya Kesultanan Sulu dan Kesultanan Mindanau yang semula adalah Negara Merdeka berdaulat, tapi kini dikuasai Philipina ?

HABIB : Setelah Syariful Hasyim menjadi Sultan Sulu, maka anak cucunya secara turun temurun menjadi Sultan Sulu, hingga giliran Sultan Badaruddin I yang memiliki dua putera : Pertama Sultan Azimuddin I, yaitu moyang dari keluarga Kiram yang saat ini dinobatkan oleh pemerintah Philipina sebagai Sultan Sulu dan beristana di Manila. Dan kedua, Raja Muda Datu Bantilan, yaitu moyang dari Sultan Bantilan Mu'izzuddin II yang saat ini dinobatkan sebagai Sultan Sulu oleh para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat Sulu melalui Musyawarah di RUMAH BICARA yaitu semacam Rumah Majelis Syura Rakyat Sulu di Jolo ibukota Sulu.
Ketika Sultan Azimuddin I berkuasa, hubungannya sangat dekat dengan Spanyol, bahkan sampai ada "issu" bahwa dia "dibaptis" di Manila ibu kota Philipina. Sultan Azimuddin I berkilah bahwa itu hanya "siasat", namun tatakala dia mengizinkan Spanyol membangun gereja di Sulu, maka rakyat Sulu pun marah, sehingga Sultan Azimuddin I dima'zulkan dan diganti dengan adiknya, yaitu Raja Muda Datu Bantilan yang dinobatkan sebagai Sultan Mu'izzuddin I. Namun, 30 tahun kemudian Sultan Mu'izzuddin I mengembalikan tahta Kesultanan kepada kakaknya Sultan Azimuddin I tatkala diketahui sudah bertaubat dan usianya pun sudah sangat lanjut, sebagai tanda cinta antara dua bersaudara.

Sejak saat itu, proses sejarah berjalan, keturunan kakak beradik Sultan Azimuddin I dan Sultan Mu'izzuddin I secara bergantian menjadi Sultan Sulu melalui musyawarah di RUMAH BICARA.
Jatuhnya Sulu dan Mindanau ke Philipina bermula dari datangnya Amerika Serikat dan sekutunya menjajah Philipina. Kemudian dari Philipina, AS dan sekutunya terus menerus melancarkan serangan ke Sulu dan Mindanau untuk dijajah. Namun rakyat Sulu dan Mindanau terus melakukan perlawanan sengit.
Akhirnya, AS berhasil mengadu-domba keluarga Kesultanan Sulu dan Mindanau, sehingga ada sejumlah keluarga kesultanan yang bersekutu dengan AS, sehingga AS lebih mudah mengklaim bahwasanya Sulu dan Mindanau sudah dikuasainya. Padahal, di Sulu dan Mindanau tiada hari tanpa perlawanan rakyat terhadap AS dan sekutunya.

Ketika AS dan sekutunya melepaskan Philipina, maka mereka memasukkan Sulu dan Mindanau ke wilayah Philipina, sehingga pemerintah Philipina mengklaim Sulu dan Mindananu merupakan bagian dari negerinya. Hal ini tentu ditolak oleh rakyat Sulu dan Mindanau, karenanya hingga kini terjadi perlawanan sengit dari rakyat Sulu dan Mindanau melalui perjuangan MNLF yang dipimpin Nur Missuari, dan MILF yang dipimpin Haji Murad, serta ABG yaitu ABU SAYYAF GROUP, dan kelompok lainnya.
Sementara keluarga Kesultanan Sulu dan Mindanau kembali dipecah belah dan di adu domba oleh Pemerintah Philipina dengan menciptakan banyak Sultan dan Datu PALSU untuk melemahkan perjuangan rakyat Sulu dan Mindanau.

Maka itu, tidak heran jika pada tanggal 12 September 1962, Sultan Ismail Kiram I, yang dinobatkan oleh Philipina, menanda tangani penyerahan Kedaulatan Sabah dan seluruh Kepulauan Sulu kepada Pemerintah Philipina. Apalagi Sultan ini pernah ikut sebagai Tentara AS dalam Perang Dunia II dengan pangkat Mayor.
Nah, sejak saat itulah hingga kini Philipina mengklaim bahwa Sulu dan Mindanau, termasuk Sabah di Kalimantan Utara menjadi wilayah kedaulatannya.

SI : Kenapa Philipina hanya mengakui Sultan Keluarga Kiram dari keturunan Sultan Azimuddin I, sedang keluarga Sultan Bantilan dari keturunan Sultan Mu'izzuddin I tidak diakui Philipina ?

HABIB : Ada dua alasan utama : Pertama, karena keluarga Sultan Kiram mau mengakui kedaulatan Philipina atas Sulu dan Mindanau, sehingga rela jadi warga negara Philipina. Sedang keluarga Sultan Bantilan tidak mengakui hal tersebut, bahkan berjuang untuk kemerdekaan Sulu dan Mindanau, sejak dahulu hingga kini.

Kedua, Philipina berpegang kepada putusan Hakim Makaskie pada pengadilan British di Borneo tahun 1939 M, yang menyebutkan bahwa pewaris Kesultanan Sulu yang berhak atas "Uang Sewa Sabah" ada sembilan, yaitu dua pria dan tujuh wanita, yang kesemuanya dari keluarga Sultan Kiram. Padahal, putusan tersebut hanya terkait tuntutan kesembilan pewaris tersebut terhadap "Uang Sewa Sabah" saja, sementara keluarga Sultan Bantilan ketika itu memang tidak mengajukan tuntutan "Uang Sewa Sabah", tapi yang mereka tuntut adalah KEMERDEKAAN SULU.
Jadi, jelas kenapa Philipina mau mengakui Sultan Kiram dan menolak Sultan Bantilan.

SI : Kalau begitu, siapa Sultan Sulu yang sah ? 

HABIB : Bagi rakyat Sulu bahwa Sultan yang sah adalah Sultan yang dipilih dan direstui oleh para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat Sulu melalui Musyawarah di RUMAH BICARA, dan Sultan tersebut wajib berkomitmen untuk MEMERDEKAKAN SULU dan MINDANAU dari penjajahan Philipina.
Dengan demikian, Sultan Kiram yang dinobatkan oleh Pemerintah Philipina bagi rakyat Sulu TIDAK SAH, karena tidak dinobatkan melalui Musyawarah di RUMAH BICARA. Apalagi Sultan Kiram ikut tunduk kepada Pemerintah Kafir Philipina, dan menganggap dirinya sebagai warga Philipina. Begitu pula beberapa Sultan lain yang menobatkan dirinya sendiri sebagai Sultan dan mengakui Philipina sebagai negara mereka. Ada pun Sultan Bantilan Mu'izzuddin II bagi rakyat Sulu adalah SULTAN SAH, karena dinobatkan melalui musyawarah para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat Sulu melalui Musyawarah di RUMAH BICARA dengan komitmen MEMERDEKAKAN Sulu dan Mindanau dari penjajahan Kafir Philipina.

SI : Lalu apa saja yang sudah dan akan dilakukan oleh Sultan Sulu yang sah untuk kemerdekaan Sulu dari penjajahan Philipina ?

HABIB : Pertama, Sultan Bantilan Mu'izzuddin II sejak dinobatkan sebagai Sultan Sulu sudah mendeklarasikan KEMERDEKAAN SULU dan MINDANAU secara terbuka.
Kedua, Sultan Bantilan sudah membentuk KABINET pemerintahannya dan mengumumkannya kepada rakyat Sulu. dan Mindanau, bahkan dunia internasional.
Ketiga, Sultan sudah mengembalikan semua simbol Kesultanan Sulu dan Mindanau sebagaimana mestinya, seperti Islam sebagai dasar negara, syariat sebagai hukum negara, logo, lambang, bendera, panji, stempel, nasyid kenegaraan dan sebagainya.

Keempat, Sultan sudah dan sedang menyurati berbagai Kepala Negara untuk meminta dukungan pengakuan kemerdekaan Sulu dan Mindanau, termasuk para Sultan di Nusantara.
Kelima, Sultan mengangkat duta-duta kesultanan yang dikirim ke berbagai negara untuk menggalang dukungan bagi kemerdekaan Sulu dan Mindanau.

Keenam, Sultan bertekad untuk menyatukan semua Faksi Perlawanan terhadap Philipina, baik MNLF di Sulu, atau MILF di Mindanau, atau ABU SAYYAF di Basilan, dan faksi-faksi lainnya. Sebab tanpa persatuan, rakyat Sulu dan Mindanau tidak akan pernah meraih KEMERDEKAAN.
Ketujuh, Sultan bertekad untuk memerdekakan Sulu dan Mindanau dengan jalan DAMAI, artinya melalui jalur politik dan diplomatik, selama Philipina tidak lagi melakukan serangan terhadap rakyat Sulu dan Mindanau. Berapa pun lama masanya, karena sudah puluhan tahun rakyat Sulu dan Mindanau melalui MNLF dan MILF mau pun ABU SAYYAF dan lainnya, BERPERANG melawan Philipina, puluhan ribu rakyat Sulu dan Mindanau gugur sebagai Syuhada, namun belum mengantarkan kepada kemerdekaan. Jadi, Sultan mau coba jalan lain, tanpa memadamkan semangat perlawanan dalam jiwa rakyat Sulu dan Mindanau terhadap penjajah Philipina.

Kedelapan, jika upaya damai pun tak membuahkan hasil, lalu Philipina tetap melakukan serangan kepada rakyat Sulu dan Mindanau, maka Sultan Bantilan akan menyerukan segenap rakyat Sulu dan Mindanau untuk JIHAD FI SABILILLAH secara besar-besaran, karena tidak ada jalan lain lagi.
Kesembilan, Sultan menyerukan rakyat Sulu dan Mindanau untuk membuang KTP Philipina, tapi menggantinya dengan KTP Kesultanan, sebagai bentuk ikrar bahwa Sulu dan Mindanau BUKAN PHILIPINA. Kini, sudah puluhan ribu rakyat menyambut seruan Sultan. Ke depan kita berharap SEMUA rakyat Sulu dan Mindanau melakukan hal yang sama. Termasuk, turunkan Bendera Philipina di wilayah Sulu dan Mindanau, dan naikkan Bendera Kesultanan.
Kesepuluh, Sultan mengangkat Mufti Besar untuk membimbing Sultan dan Rakyatnya agar tetap berjalan di jalan Allah SWT dan Rasulullah SAW sesuai Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

SI : Habib sendiri bagaimana bisa menjadi The Grand Mufti of Sulu ? Habib kan warga negara Indonesia kok boleh jadi Mufti Besar Sulu ? 

HABIB : Sepuluh tahun terakhir saya bersama Tuan Guru Haji Abdulhalim Abbas, mantan orang nomor dua di ARQOM, dan kawan-kawan, bekerja sama dengan Majelis Ugama Islam Sabah (MUIS) sering SAFARI DA'WAH berkeliling keluar masuk berbagai kota dan kampung di seluruh Sabah.
Dalam Safari Da'wah tersebut lah saya banyak bertemu dan berkumpul serta berkomunikasi dengan warga Sulu, baik yang telah menjadi warga negara Malaysia mau pun belum. Termasuk para Syarif, Ulama dan Datu dari Sulu, yang kemudian mereka lah yang mengusulkan kepada Sultan Bantilan untuk mengangkat saya sebagai Mufti Besar Sulu dan Tuan Guru Haji Abdulhalim Abbas sebagai Pemasihat Utama Sultan. Akhirnya, usulan tersebut disetujui oleh Sultan dan seluruh anggota kabinet kesultanannya.
Dalam Konstitusi Sultanate of Sulu Darul Islam (SSDI) bahwa Mufti Besar Negeri Sulu mau pun Penasihat Sultan, boleh diambil dari negara dan bangsa mana pun, termasuk Indonesia dan Malaysia. Sebab, persaudaraan Islam itu lintas sektoral dan teritorial. Habaib dan Ulama itu milik umat Islam dimana pun mereka berada, tanpa peduli negeri mau pun suku bangsanya.

SI : Apa Peran dan Tugas Utama seorang Mutti Besar Sulu saat ini, selain memberi fatwa dalam urusan agama ?

HABIB : Tugas Besar Mufti Besar Sulu saat ini adalah ikut serta secara pro aktif memperjuangkan KEMERDEKAAN SULU dan MINDANAU dari penjajahan Philipina. 

SI : Apakah benar Sabah milik Kesultanan Sulu ? Bagaimana duduk persoalan sebenarnya ?

HABIB : Ya. Pada awalnya memang Sabah milik Kesultanan Sulu, dan warga asli Sabah itu adalah rakyat Sulu. Nah, pada tanggal 22 Januari 1878, Kesultanan Sulu menyewakan Sabah kepada British North Borneo Company (BNBC) dengan syarat selama BNBC memerlukan dan mau mengelolanya, dan selama ada "Bulan dan Bintang".

Namun pada Tahun 1946, saat BNBC tidak lagi memerlukan Sabah dan tidak mau lagi mengelolanya, pihak BNBC tidak mengembalikan Sabah ke Kesultanan Sulu sebagaimana mestinya, tapi menyerahkan Sabah kepada Kerajaan Inggris yang menjajah Malaysia, dengan dalih syarat perjanjian selama ada "Bulan dan Bintang" yang ditafsirkan sebagai perjanjian selamanya. Sedang Kesultanan Sulu menafsirkan "Bulan dan Bintang" sebagai simbol Kesultanan, yaitu keturunan Sultan Azimuddin I sebagai Bulannya dan keturunan Sultan Mu'izzuddin I sebagai Bintangnya. 

Dengan penafsiran sepihak dan dalih over sewa, Inggris pun melanjutkan sewa Sabah tanpa batas waktu. Pada akhirnya, saat Inggris melepaskan Malaysia, maka Sabah dimasukkan ke wilayah Malaysia, namun tetap dalam status sewa tanpa batas waktu, hingga kini.
Nah, kini banyak muncul kerabat Kesultanan Sulu atau pihak lain yang mengatas-namakan Kesultanan Sulu, menobatkan diri sebagai Sultan Sulu. Salah satu sebabnya adalah karena banyak yang ingin mendapatkan "Uang Sewa Sabah" berikut aneka fasilitas dan pelayanan khusus. Pemerintah Malaysia sendiri melalui Kedubesnya di Manila, masih tetap membayar sewa tersebut kepada keluarga Kiram, dengan alasan karena diakui sebagai Sultan Sah oleh pihak pemerintah Philipina.

SI : Kalau Malaysia sudah bayar sewa, kenapa pihak keluarga Sultan Kiram justru mengirim tentaranya menyerang Lahad Datu di Sabah ?

HABIB : Malaysia terjebak dalam permainan pemerintah Philipina, karena Malaysia membayar sewa untuk "pribadi" keluarga Kiram yang dipelihara oleh pemerintah Philipina, bukan untuk rakyat dan negara Sulu.
Padahal, Malaysia tahu bahwa selama ini Philipina selalu mengklaim Sabah sebagai bagian wilayahnya dengan menggunakan dokumen Kesultanan Sulu. Itulah sebabnya, kenapa Philipina tetap mempertahankan keberadaan "Sultan Sulu" bukan "Kesultanan Sulu", agar bisa dijadikan "alat politik" untuk menuntut Sabah.
Jadi, saya menduga kuat bahwa Philipina berada di balik peristiwa Lahad Datu. Sultan Kiram dijadikan bonekanya, sementara rakyat Sulu yang dikirim sebagai "Tentara Kesultanan Sulu" hanya dikorbankan untuk nafsu serakah Philipina. Saat gagal, Philipina dengan mudah bisa cuci tangan, dan mengkambing-hitamkan Sultan Kiram.

SI : Apa Habib punya data dan fakta tentang keterlibatan Philipina di balik peristiwa Lahad Datu ?

HABIB : Data dan Fakta dalam bentuk hitam di atas putih secara eksplisit yang menyatakan bahwa Philipina terlibat dalam peristiwa Lahad Datu memang tidak ada, tetapi indikatornya banyak dan kuat, antara lain :
Pertama, yang paling banyak diuntungkan dari peristiwa Lahad Datu adalah Philipina, karena yang selama ini membantu rakyat Sulu, baik langsung mau pun tidak langsung adalah Malaysia. Dengan terjadinya peristiwa Lahad Datu, maka hubungan Sulu dan Malaysia memburuk, sehingga posisi Sulu di dalam menghadapi penjajah Philipina semakin melemah.

Kedua, Philipina sudah kelelahan menghadapi perlawanan rakyat Sulu dan Mindanau, sehingga Philipina punya kepentingan untuk memindahkan KONFLIK MORO dari Sulu dan Mindanau ke Sabah.
Ketiga, Philipina memang sudah lama mengklaim kedaulatannya atas Sabah. Bahkan pada tahun 1967, di zaman Marcos, Philipina pernah membentuk pasukan berisikan dua ratus tentara dari bangsa Sulu dan Mindanau, yang kemudian terkenal dengan nama JABIDAH SPECIAL FORCE sesuai nama komandannya, Jabidah. Mereka dilatih secara khusus di pulau Corregidor di wilayah Luzon - Philipina, tanpa tahu tujuan sebenarnya. Pada tahun 1968, tatkala mereka akan dikirim ke Sabah untuk membantai bangsa Sulu dan Mindanau di Sabah yang setuju ikut Malaysia melalui Referendum 16 September 1963, maka mereka menolak untuk memerangi saudaranya sendiri. Akhirnya, seluruh anggota Unit Komando Jababidah dibantai di pulau tersebut atas perintah Marcos. Namun ada beberapa yang berhasil menyelamatkan diri, sehingga peristiwa keji tersebut terbongkar. Inilah peristiwa yang membuat bangsa Moro demonstrasi berbulan-bulan di Manila, Mindanau dan Sulu, yang akhirnya melahirkan pembentukan MNLF untuk melawan Philipina. Jadi, jika Philipina pernah menempuh jalan keji untuk merebut Sabah, maka tidak heran jika Philipinan mampu mengulangi kekejiannya melalui peristiwa Lahad Datu di Sabah. Dan bisa terulang kembali di masa mendatang.

Keempat, dalam peristiwa Lahad Datu, respon Philipina agak dingin, bahkan ikut meloloskan para penyerbu saat lari dari kejaran Tentara Diraja Malaysia. Tidak sampai disitu, Presiden Philipina secara terang-terangan memberi pernyataan terkait peristiwa Lahad Datu, bahwa Philipina akan terus memperjuangkan kedaulatannya atas Sabah secara diplomatik melalui forum internasional.

SI : Sikap Sultan Bantilan sendiri terhadap masalah Sabah bagaimana ? Dan bagaimana pula sikap Sultan Bantilan terhadap peristiwa Lahad Datu ?

HABIB : Sultan Bantilan tidak akan pernah mempermasalahkan Sabah berada dalam wilayah kedaulatan Malaysia, selama Malaysia merupakan negeri Islam dan mengelola Sabah dengan baik dan memperlakukan warga Sulu di Sabah dengan baik pula. Tak pernah terbersit di benak Sultan Bantilan untuk menuntut pengembalian Sabah. 

Hanya saja, Sultan berharap "Sewa Sabah" dibayar oleh Malaysia untuk negara "Kesultanan Sulu" bukan pribadi "Sultan Sulu" atau keluarganya. Artinya, uang sewa tersebut mestinya disetorkan kepada pihak yang tepat untuk digunakan bagi pembangunan Negeri Sulu dan peningkatan kesejahteraan rakyat Sulu.
Soal peristiwa Lahad Datu, Sultan Bantilan melihat bahwa itu hanya merupakan rekayasa politik jahat yang ingin merusak hubungan baik Kesultanan Sulu dengan Malaysia, sekaligus ingin mengadu-domba antar umat Islam di dalam mau pun di luar Sulu. Dan Sultan sangat berduka dengan korban yang berjatuhan, baik dari pihak rakyat Sulu mau pun saudara muslim Malaysia.

SI : Habib sendiri selaku Mufti Besar Sulu, bagaimana peran Habib dalam kasus tersebut ?

HABIB : Saya bersama Menteri Luar Negeri Sulu Datu H.Zakariya dan Menteri Pemuda Sulu Datu Asree Moro sejak awal Maret terus melakukan pertemuan dan pembicaraan dengan berbagai pihak dari para petinggi Malaysia, termasuk Menteri Pertahanan Malaysia Datu Sri Zahid Hamidi. Intinya, kami menjelaskan tentang apa dan bagaimana sikap sebenarnya Sultan Bantilan Mu'izzuddin II terhadap Sabah dan peristiwa Lahad Datu, sekaligus kita mencari solusi terbaik agar ke depan tidak terulang lagi peristiwa serupa.
Bahkan sampai saat ini, upaya diplomatik Kesultanan Sulu masih terus kami lakukan di Malaysia. Rencana ke depan, kita akan ajak bicara juga Kesultanan Brunei selaku kerabat Kesultanan Sulu. 

SI : Solusi apa yang Habib dan kawan-kawan tawarkan atas nama Kesultanan Sulu ?

HABIB : Ada banyak solusi kita tawarkan, kesemuanya untuk kebaikan Malaysia dan Sulu serta Mindanau, antara lain :
Pertama, Kesultanan Sulu harus mengakui kedaulatan Malaysia atas Sabah, sehingga status Sabah sebagai milik Malaysia tidak boleh dipersoalkan lagi oleh Sulu selamanya.
Kedua, nilai sewa Sabah tetap harus dibayar oleh Malaysia selamanya, tapi nilainya harus disesuaikan dengan kurs yang berlaku, karena sewa Sabah dengan 5000 (lima ribu) ringgit atau pound sterling per tahun di zaman sekarang sudah tidak logis lagi dengan alasan apa pun.

Ketiga, pembayaran sewa Sabah diberikan kepada "Kesultanan Sulu" bukan "Sultan Sulu". Artinya, bukan untuk pribadi Sultan Sulu atau keluarganya, tapi untuk membangun negeri Sulu dan mensejahterakan rakyat Sulu. Malaysia boleh membayar sewa Sabah dalam bentuk pembangunan infrastruktur di Sulu, sekaligus berinvestasi di Sulu yang saling menguntungkan, agar Sulu tidak lagi miskin dan terbelakang seperti saat ini.
Keempat, Malaysia harus mengakui dan ikut memperjuangkan di forum internasional kedaulatan Kesultanan Sulu sebagai negara merdeka, sebagaimana Malaysia selama ini telah mengakui dan melaksanakan kewajiban pembayaran sewa Sabah kepada Kesultanan Sulu. 
Kelima, Malaysia dan Sulu harus saling bekerja sama di semua bidang, termasuk saling mempermudah rakyat masing-masing untuk keluar masuk mau pun berdomisili dan bekerja di kedua negara.

SI : Hikmah apa yang Habib lihat di balik peristiwa Lahad Datu - Sabah ?

HABIB : Sekali pun peristiwa tersebut merupakan tragedi yang membuat kita semua prihatin, namun tetap kita harus mengambil Hikmahnya, antara lain :
Pertama, mendorong Malaysia dan Kesultanan Sulu yang sah untuk duduk kembali bersama bermusyawarah mencari solusi terbaik untuk Sulu, Mindanau dan Sabah.
Kedua, membuka mata dunia internasional bahwa nun jauh di Asia Tenggara ada satu negeri merdeka, yaitu Kesultanan Sulu, yang tertindas dan melarat selama beratus tahun, akibat kezaliman Spanyol dan Amerika Serikat serta Philipina.

SI : Apa betul Sultan Sulu saat ini adalah Sultan termiskin di dunia ?

HABIB : Sultan Sulu yang dinobatkan Philipina dan beristana di Manila tentu kaya raya, karena mendapat gaji dari pemerintah Philipina dan memperoleh uang "Sewa Sabah" serta berbagai fasilitas kemewahan. Ada pun Sultan Sulu yang sah dinobatkan oleh para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat Sulu dengan komitmen memerdekan Sulu dan Mindanau, selama ini hidup sederhana penuh syukur dan sabar. Istana kecil berlantai tanah dan beratapkan ijuk dengan nafkah halal dari bertani dan berdagang. Alhamdulillah.

SI : Andaikata upaya politik dan diplomatik untuk kemerdekaan Sulu dan Mindanau gagal, apa yang akan dilakukan Sultan Bantilan ?

HABIB : Bagi Sultan Bantilan selama masih ada Bulan dan Bintang, maka Rakyat Sulu akan terus bertahan dan berjuang. Artinya, kita tidak akan pernah putus asa. Upaya diplomatik akan terus dilakukan tanpa henti sampai kapan pun, hingga Sulu dan Mindanau MERDEKA. Walau pun suatu saat kami diserang sehingga dipaksa perang, maka kami akan berjihad, sambil tetap melakukan lobby diplomatik tingkat tinggi dengan berbagai negara Islam khususnya.

SI : Andaikata Jihad dikobarkan Sultan Bantilan di bumi Sulu dan Mindanau, akankah FPI yang Habib pimpin mengambil bagian ?

HABIB : Insya Allah, FPI akan tetap ISTIQOMAH untuk selalu mengambil bagian dalam Jihad di negeri kaum muslimin mana pun.

SI : Apakah Habib sudah mengkomunikasikan persoalan Sulu ke pemerintah Indonesia ? 

HABIB : Dari sekian banyak pejabat yang saya hubungi, hanya Menteri Agama RI Suryadarma Ali yang merespon dan memberi apresiasi serta motivasi kepada saya selaku anak bangsa Indonesia yang ikut berperan dalam persoalan internasional tersebut. Lainnya bungkam tuh ?!
Padahal, saya berharap pemerintah Indonesia bisa memainkan peranan lebih besar. Ingat, bahwa sebab kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional, salah satunya adalah karena Malaysia menggunakan dokumen yang berasal dari Kesultanan Sulu tentang kedua pulau tersebut. Disana masih ada beberapa pulau lagi yang berpotensi jadi masalah perbatasan antara Indonesia - Malaysia - Philipina yang kesemuanya akan melibatkan dokumen Kesultanan Sulu.
Apalagi Kesultanan Sulu dan Mindanau juga punya hubungan kekeluargaan dengan berbagai kerajaan di Indonesia, seperti Kerajaan Kubu di Kalimantan Barat, Kerajaan Bulungan di Kalimantan Timur, serta Kerajaan Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, hingga Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, termasuk para Datu di Buol dan Toli-Toli hingga Menado di Sulawesi Utara.

SI : Hikmah lain apakah yang bisa diambil ileh pemerintah RI dari peristiwa Lahad Datu ?

HABIB : Pemerintah RI harus pandai menghargai dan menghormati jasa seluruh Kesultanan di Indonesia yang telah dengan sukarela masuk ke dalam wilayah RI. Berikan mereka peran yang lebih konkrit dan jadikan mereka sebagai ujung tombak pemerintah pusat untuk menjaga persatuan dan kesatuan NKRI di wilayah masing-masing. Dengan demikian, tidak akan pernah terbersit di benak kesultanan mana pun di Indonesia untuk keluar dari wilayah RI. Termasuk pemerintah wajib menjunjung tinggi SYARIAT ISLAM yang sejak awal sudah menjadi KONSTITUSI seluruh Kesultanan di Indonesia. [slm/fpi]


Sumber : Suara-Islam.COM