Sidang
PBB di Jeneva pada tanggal 23/Mei/2012 lalu, menyinggung soal kebebasan
beragama. Dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB
tersebut diikuti oleh 74 negara termasuk Indonesia. Beberapa negara
mencecar Indonesia dengan berbagai pertanyaan seputar permasalahan
kebebasan beragama yang ada di Indonesia.
Dalam
kesempatan tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia, Natalegawa, tanpa
merasa malu dalam pidatonya menyampaikan bahwa ada kelompok-kelompok
tertentu yang cenderung ekstrim dan telah mencederai demokrasi di
Indonesia. Anehnya, Natalegawa sama sekali tak menyinggung sebab atau
akar masalah timbulnya konflik di dalam negeri seperti adanya penodaan
dan penistaan terhadap agama di Indonesia yang akhir-akhir ini kian
marak. Ia hanya sibuk menyoroti penodaan demokrasi sepihak tanpa
membicarakan bahwa ada pihak lain juga yang terusik karena tidak bisa
membela haknya di Negara yang sibuk mengumandangkan demokrasi ini.
Pidato Natalegawa jelas politis dan sepihak.
Dalam
pidatonya, Natalegawa menanggapi kritikan dari Lembaga Swadaya
Masyarakat baik dari dalam negeri maupun International yang menyoroti
kepada kelompok minoritas seperti pada kasus sejumlah gereja, perlawanan
kepada aliran Ahmadiyah dan juga pelarangan diskusi buku tanpa
menjelaskan akar permasalahannya.
Namun
Natalegawa sebagai perwakilan pemerintah Indonesia menyatakan bahwa
pemerintah telah melakukan upaya-upaya positif untuk menekan
intoleransi. Ia menekankan bahwa Indonesia berkomitmen untuk memajukan
perlindungan HAM dan tidak akan berjalan di tempat apa lagi berjalan
mundur. Dalam hal ini sikap Natalegawa sangat disayangkan, ia lupa kalau
umat Islam juga harus dilindungi hak-haknya sebagai bagian terbesar
dari Negara yang katanya mengedepankan demokrasi dan perlindungan HAM
ini.
Kasus
penodaan agama seperti pelecehan dan penistaan terhadap agama Islam
yang dilakukan oleh sekte ahmadiyah, kelompok liberal dan LSM Komprador
adalah masalah Hak Azazi umat islam yang sampai saat ini tidak sedikit
pun mendapat dukungan dari pemerintah. Lalu pihak mana yang dimaksud
Natalegawa telah mencoreng nilai demokrasi? Apakah maksudnya pihak
liberal boleh menghina umat islam sebagai bagian dari demokrasi,
sementara umat islam yang Hak Azazinya terusik tidak boleh melakukan
perlawanan karena dinilai merusak demokrasi? Inikah maksud Natalegawa
dengan keseimbangan di Negara demokrasi? Inikah sikap Negara yang
memajukan perlindungan HAM?.
Sikap
beberapa Negara di PBB yang menuduh Indonesia intoleran terhadap agama
lain mendapat respon dari salah satu tokoh penting Indonesia, KH. Hasyim
Muzadi. Dalam tanggapannya, Hasyim Muzadi memberikan pencerahan yang
penting untuk diketahui banyak pihak.
KH.
Hasyim Muzadi, sebagai Presiden WCRP (World Conference on Religions for
Peace) & Sekjen ICIS (International Conference for Islamic
Scholars) serta Mantan Ketum PBNU menyikapi tentang tuduhan INTOLERANSI
agama di Indonesia pada Sidang PBB di Jeneva pada tanggal 23/Mei/2012,
sebagai berikut:
"Selaku
Presiden WCRP dan Sekjen ICIS, saya sangat menyayangkan tuduhan
INTOLERANSI agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu, pasti
karena laporan dari dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia,
saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia.
Kalau
yang dipakai ukuran adalah masalah AHMADIYAH, memang karena Ahmadiyah
menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel
Islam dan berorientasi Politik Barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan
agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam. Kalau yang
jadi ukuran adalah GKI YASMIN Bogor, saya berkali-kali kesana, namun
tampaknya mereka tidak ingin masalah selesai. Mereka lebih senang Yasmin
menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain dari pada
masalahnya selesai.
Kalau
ukurannya PENDIRIAN GEREJA, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa,
pendirian Gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian MASJID juga
sangat sulit. Belum lagi pendirian Masjid di Papua. ICIS selalu
melakukan mediasi. Kalau ukurannya LADY GAGA dan IRSHAD MANJI, bangsa
mana yang ingin tata nilainya dirusak kecuali mereka yang ingin menjual
bangsanya sendiri untuk kebanggaan intelektualisme kosong? Kalau ukuran
HAM, lalu di Papua kenapa saat TNI/ Polri/ Imam Masjid berguguran tidak
ada yang bicara HAM?
Indonesia
lebih baik toleransinya dari Swiss yang sampai sekarang tidak
memperbolehkan MENARA MASJID, lebih baik dari Perancis yang masih
mempersoalkan JILBAB, lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia yang
tak menghormati agama, karena di sana ada Undang-undang perkawinan
sejenis. Agama mana yang memperkenankan PERKAWINAN SEJENIS?!
Akhirnya
kembali kepada bangsa Indonesia, kaum muslimin sendiri yang harus sadar
dan tegas membedakan mana HAM yang benar (Humanisme) dan mana yang
sekedar Westernisme….”.
Pencerahan
dari KH. Hasyim Muzadi tersebut mendapat respon yang sangat baik dari
Habib Rizieq Syihab. Menurut Habib, tanggapan KH. Hasyim Muzadi tersebut
sangat luar biasa, dan patut diketahui masyarakat luas. [Slm/ fpi]
Sumber : fpi.or.id